Namaku Fara, usiaku baru saja menginjak 26 tahun. Aku telah menikah
dengan mas Budi (nama suamiku) selama lebih dari 5 tahun. Pernikahan
kami dapat terbilang langgeng, tentram tanpa adanya gangguan ataupun
masalah yang berarti. Begitupun dengan hubungan birahi kami, semua
berjalan lancar seperti pasangan-pasangan lainnya. Bertahun-tahun aku
dan suamiku memiliki kehidupan seks yang bagus, dan dia benar-benar bisa
memuaskan nafsu birahiku.
Berbagai macam literature kami baca dan pelajari guna mendapatkan ide
serta masukan baru guna mempererat tali birahi kami. Mulai dari koran,
majalah, novel stensilan, hingga internet, mengisi keseharian kami
berdua. Khusus untuk literature terakhir, internet, yang mana diera
seperti sekarang ini, informasi apa saja bisa didapatkan di internet.
Terlebih informasi yang berbau akan hal-hal yang bertema seksual, dapat
dengan mudah diperoleh darinya.
Hampir tiap malam, kami selalu mencari referensi dari berbagai macam
situs porno, namun entah siapa yang memulai terlebih dahulu, akhir-akhir
ini, aku dan suamiku lebih suka membaca ataupun menonton situs porno
yang bertemakan‘perselingkuhan’ atau ‘seorang istri yang ingin bercinta
dengan lelaki lain’.
Bercinta dengan lelaki lain?
Jujur, aku dan suamiku sangatlah terangsang setelah membaca ataupun
menonton situs porno jenis itu. Yang jika diteruskan dengan acara
bercinta, kami bisa berulang kali mencapai kepuasan birahi. Dan
setelahnya, kami mulai berbicara mengenai apa yang bakal didapat jika
hal-hal itu bisa benar-benar diwujudkan dalam kehidupan pribadi kami.
Pembicaraan tentang bercinta dengan lelaki lain ini selalu saja suamiku
lontarkan setiap saat, sehingga secara tak langsung, ‘ide aneh’ ini
menjadi salah satu penyebab tumbuhnya imajinasi liarku. Imajinasi untuk
benar-benar bisa bercinta dengan lelaki lain selain lelaki yang aku
nikahi ini.
***
Hingga detik ini aku dan suamiku masih tinggal dengan orangtuanya, Pak
Bakri dan Bu Murni. Pak Bakri, 52 tahun, adalah seorang pegawai negeri
biasa. Sedangkan Bu Murni, bekerja sebagai pengusaha rumah makan.
Pak Bakri, yang walau telah mencapai usia setengah abad, adalah
seseorang yang rajin dan ceria. Ia mempunyai banyak sekali bahan
banyolan yang selalu bisa membuat siapa saja yang berada di dekatnya
untuk tertawa. Pak Bakri, memiliki postur tubuh standar dengan tinggi
165 cm, berambut cepak yang sudah dihiasi uban, berkulit sawo matang,
berwajah tegas yang selalu dihiasi oleh senyuman. Membuatnya selalu
terlihat lebih muda.
Pak Bakri, itulah lelaki yang selalu masuk ke dalam imajinasi liarku.
Seperti yang telah aku jelaskan tadi, jika aku dan suamiku sedang
berbincang mesum, sosok ayah mertuaku itulah yang selalu aku bayangkan
untuk bisa meniduriku. Awalnya aku selalu mencoba untuk mengalihkan
segala pikiran mesumku dari beliau, tapi apa daya, aku sama sekali tak
bisa. Bahkan terkadang, ketika aku dan suamiku sedang heboh-hebohnya
bercinta, aku sengaja memejamkan mata dan membayangkan jika orang yang
menyetubuhiku saat itu adalah Pak Bakri, ayah kandung suamiku.
Dan dari membayangkan hal itu saja, mampu membuatku orgasme berkali-kali.
Aku tak pernah mengatakan hal ini kepada mas Budi, sehingga apa yang aku
rasakan setiap kali bercinta dengannya, adalah merupakan rahasiaku
sendiri.
“Astaga, apakah yang aku lakukan ini salah?"
“Bagaimana cara menghilangkan pikiran mesumku tentang ayah mertuaku?”
“Apakah aku adalah seorang menantu yang mesum?”
***
Aku yakin jika hingga detik ini, pak Bakri masih aktif melakukan
hubungan seksual dengan bu Mirna, meskipun aku belum pernah sama sekali
melihat atau mendengar aktifitas bercinta mereka. Hingga pada akhirnya,
aku putuskan untuk memulai bermain api dengan ayah mertuaku.
Aku memutuskan untuk merayunya dengan cara apapun.
Dengan postur tubuh 160 cm, kulit kuning langsat, berambut hitam lurus
sepanjang punggung, payudara 36D, dan pantat yang membulat, aku yakin
jika asetku ini dapat menaklukan ayah mertuaku.
Untuk menunjang ide mesum ini, ketika aku berada di rumah, aku sengaja
untuk mengenakan daster pendek berbahan katun tipis dengan bukaan leher
yang lebar guna memperlihatkan kemontokan daging payudaraku. Terkadang
aku juga sering mengenakan celana pendek plus tanktop guna
memperlihatkan lekuk pinggang dan perut rampingku.
Aku sadar, jika di dalam rumah yang aku tempati ini masih ada ibu mertua
dan suamiku, sehingga untuk melakukan niatan mesum kepada ayahku ini,
aku harus lebih berhati-hati. Sangat berhati-hati.
Secara rutin, dikarenakan jarak antara rumah tempat kami tinggal dan
lokasi kerja suamiku cukup jauh, Mas Budi selalu meninggalkan rumah
sekitar pukul 7.30 pagi di setiap harinya. Ibu bertuaku, berangkat
setelah suamiku beranjak ke kantor, sekitar 15-20 menit kemudian. Dan,
ayah mertuaku dikarenakan kantor tempatnya bekerja cukup dekat, ia
selalu berangkat pukul 10 kurang 15 menit.
Melihat jam kerja orang-orang yang tinggal di rumah ini, aku memiliki
waktu di pagi hari sekitar 2 jam-an untuk dapat melakukan rencana
penaklukan kepada ayah mertuaku. Terlebih karena aku tak bekerja, aku
memiliki waktu yang cukup leluasa untuk menggoda ayah mertuaku sebelum
beliau berangkat kerja.
Biasanya, setelah suami dan ibu mertuaku berangkat kerja, aku yang
semula menggunakan daster panjang, langsung mengganti pakaianku dengan
daster jelek berukuran mini.
“Adek malas jika harus beraktifitas dengan mengenakan daster bagus,
mas.” alasan yang selalu aku lontarkan kepada mas Budi setiap kali ia
bertanya padaku. “Terlebih, di rumah sudah nggak ada siapa-siapa lagi.”
tambahku.
“Tapi khan masih ada bapak, dek…” katanya.
“Ya ampun, mas. Memangnya kenapa? Toh adek sudah menganggap bapak mas sebagai ayah adek sendiri.”
Seumur pernikahanku, mas Budi tak pernah menang jika berdebat tentang
pakaian denganku. Ia selalu memaklumi semua alasanku. Padahal, jika ia
tahu maksudku yang sebenarnya, mungkin ia tak akan pernah membiarkan
istri tercintanya ini memamerkan aurat tubuhnya dengan leluasa.
Ada banyak cara yang bisa aku lakukan untuk dapat menarik perhatian ayah
mertuaku. Seperti ketika aku menyapu, aku lebih sering membungkuk untuk
membersihkan kolong furniture, tujuannya tak lain adalah, supaya aku
bisa memperlihatkan gelantungan daging payudaraku ketika aku menunduk.
Ketika mengepel lantai, aku lebih sering berjongkok guna memperlihatkan
pada dalam dan CD miniku. Ketika aku mencuci bajupun, aku sangat sering
untuk membasahi atasan dasterku guna memperlihatkan lekuk bentuk
payudaraku, dan ketika aku menjemur baju, aku sengaja memilih lokasi
yang terkena banyak sinar matahari, guna memamerkan siluet indah
tubuhku.
Semua aku lakukan demi satu tujuan, mendapat perhatian dari ayah mertuaku.
Setiap kali aku melakukan pekerjaan rumah (dengan cara seksi tentunya),
seringkali aku lihat ayah mertuaku secara malu-malu mengintip. Namun
begitu aku memandang ke arahnya, ia buru-buru mengalihkan pandangannya
sambil tersenyum simpul. Melihat senyum ayah mertuaku, entah kenapa
selalu yang selalu membuatku mabuk kepayang. Dan melihat senyum
simpulnya, aku semakin yakin jika selama ini beliau menikmati pameran
aurat yang aku lakukan selama ini. Karena setelah aku tak lagi melihat
ke arahnya, aku tahu jika ia buru-buru menatap tajam ke arah tubuh
seksiku ini.
Dengan cara ini, aku mendapat banyak sekali kesenangan. Dan anehnya,
hanya dengan melihat senyum dan lirikan mata ayah mertuaku ketika beliau
menatap tajam ke arahku, vaginaku bisa saja langsung membecek basah.
Dan ujung-ujungnya, aku bisa merasakan orgasme hebat dengan cara
bermasturbasi dengan hanya membayangkan ayah mertuaku.
“Aku harus melakukan sesuatu yang jauh lebih binal lagi. Aku harus bisa
membuatnya tertarik padaku. Aku harus mendapatkan kehangatan tubuh ayah
mertuaku. Aku harus bisa membawanya masuk ke dalam dekapanku dan aku
harus bisa membuat beliau meniduriku.”
Perlahan tapi pasti, aku menyadari jika ada sedikit perubahan dari sikap
dan perhatian pak Bakri padaku. Lirikan mata yang semula hanya
mencuri-curi pandang ke arah tubuh seksiku, sekarang sudah berani
menatap dengan tajam. Senyum yang semula hanya tergurat tipis di
wajahnya, sekarang sudah lebih sering terlihat lagi.
Sepertinya, pak Bakri mencoba untuk bisa ‘berkomunikasi’ dengan cara
yang lebih intim lagi kepadaku. Bahkan tak jarang, ayah suamiku itu
dengan sengaja menepuk atau mengusap tubuhku selagi ia berbicara
denganku. Sengaja membuat chemistry yang ada diantara kami berdua
menjadi lebih dekat.
Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk menunjukkan hal yang lebih
kepada ayah mertuaku. Hal yang membuat ayah mertuaku tahu apa tujuanku
kepadanya selama ini. Dengan cara memamerkan ketelanjangan tubuhku.
***
Rumah kami adalah rumah petak dengan 2 kamar tidur yang saling
berdampingan.Disebelah kamar tidur, terdapat ruang tengah ber-TV, yang
diletakkan tepat di depan kamar tidurku. Di ruang tengah terdapat sofa
yang menghadap kamar tidurku, dan jika ada seseorang yang menonton TV
disitu, dia bisa saja melihat melihat semua kegiatan yang terjadi di
dalam kamar melalui pintu kamar tidurku.
Inilah kunci utama yang bisa membuat rencana mesumku berhasil.
Hari itu, di suatu pagi yang cerah, setelah mas Budi dan bu Murni
berangkat kerja, pak Bakri sedang menonton acara kegemarannya di TV.
Mengetahui jika ayah mertuaku sedang asyik-asyiknya menonton TV, aku
segaja lewat di hadapannya dan segera masuk ke dalam kamar tidurku. Aku
biarkan pintu kamar tidurku sedikit terbuka, berharap ayah mertuaku bisa
melihat aktifitasku di dalam kamar.
Setelah berada di dalam kamar, aku kembali mondar-mandir di dalam kamar,
dengan tujuan supaya ayah mertuaku tahu kesibukanku di dalam kamar. Dan
setelah ayah mertuaku sadar akan kesibukanku, inilah waktunya aku
melakukan pertunjukan perdanaku.
Pada awalnya, dengan posisi tubuh yang membelakangi pintu kamar tidurku
yang masih sedikit terbuka, aku sengaja membuka daster pendekku yang
basah karena air sisa cucian. Kuangkat perlahan ujung bawah daster basah
itu dan kuangkat naik ke atas kepalaku. Semua aku lakukan dengan
gerakan lambat dan sedikit menggoyang-goyangkan pinggangku.
Dan setelah daster basah itu melewati kepalaku, aku tak langsung
meletakkan daster itu ke tempat cucian kotor yang ada di sudut kamar,
melainkan berdiam diri sejenak sambil memamerkan belakang tubuhku yang
hanya tinggal mengenakan CD dan bra.
“Pak Bakri, silakan lihat tubuh setengah telanjang menantumu ini, pak.”
kataku dalam hari. Beberapa kali, aku kembali mondar-madir di dalam
kamar, dengan tujuan supaya ayah mertuaku bisa melihat keseksian
tubuhku.
Aku tahu pasti, jika saat itu ayah mertuaku sudah tak lagi konsentrasi
dengan acara yang ada di TV. Karena kulihat dari ekor mataku, pak Bakri
berulang kali menatap tajam ke arah pintu kamar tidurku yang tak
tertutup itu. Dan aku pastikan, beliau sangat memperhatikan semua gerak
gerikku di dalam kamar ini.
ASTAGA…!!!
Seluruh tubuhku gemetar dengan penuh kegembiraan. Detak jantungku
berdebar dengan kencang, mukaku terasa memanas dan seluruh bulu kudukku
seketika merinding. YUP, itu adalah tanda kegembiraan dan gairah
seksualku yang mulai meninggi.
Setelah beberapa kali mondar-mandir di dalam kamar dengan hanya
mengenakan bra dan CD saja, aku pikir, sekaranglah saatnya aku melucuti
semua pakaian dan mempertontonkan ketelanjangan tubuhku yang sebenarnya
kepada ayah mertuaku. Jika tadi aku melepas daster basahku dengan posisi
tubuh membelakangi pak Bakri, sekarang aku berbuat yang sebaliknya. Aku
ingin memperlihatkan keseksian tubuhku dari arah depan.
Kembali aku memposisikan tempat berdiriku di depan pintu kamar tidurku
yang terbuka. Kutekuk kedua tanganku ke belakang punggungku guna membuka
klip bra, dan membiarkan mangkok pakaian dalamku jatuh bebas ke lantai.
“Pak Bakri, lihatlah payudara menantumu ini.” batinku lagi seiring
menelungkupkan payudaraku dengan kedua tanganku. Bra-ku meluncur jatuh
dengan cepat, dan payudaraku pun ikut-ikutan terbebas, melompat dengan
indahnya ke arah pusar.
Aku melakukan semua hal itu dengan gaya lambat, supaya pak Bakri bisa
menikmati ketelanjangan tubuh menantu putrinya ini dengan lebih seksama.
Jantungku berdetak semakin cepat, dan wajahku terasa makin memanas.
Mendadak, aku merasa hembusan angin dari AC yang ada di kamar tidurku
begitu dingin. Karena merasa kedinginan bercampur horny, bulu kudukku
kembali berdiri, putung payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku
makin basah.
Dari sudut mataku, aku sedikit melirik ke arah ruang tengah untuk memperhatikan ayah mertuaku.
“Dia tidak lagi menonton TV. Dia lebih mengawasi diriku yang sedang ada di kamar ini.” batinku.
Dengan berpura-pura tak menyadari tatapan tajam pak Bakri, ayah
mertuaku, beberapa kali aku melepas tangkupan tangan pada payudaraku,
membiarkan payudaraku bergoyang kesana kemari sambil berdiri menghadap
ke arahnya, ayah mertuaku.
KREEK... KLETEK...!!!
“Hhhhhh… leganya.” ucapku pelan sembari berlagak melakukan kebiasaan.
Dengan sengaja, aku memelintirkan pinggangku ke kanan dan ke kiri guna
melepas pegal. Padahal tujuannya sudah jelas, aku ingin membiarkan pak
Bakri melihat daging payudaraku terlempar ke kanan dan ke kiri seiring
putaran tubuhku.
Puas memperlihatkan gerakan payudaraku, aku lalu membungkukkan
punggungku untuk mengambil daster dan bra-ku yang ada di telapak kakiku.
Saat aku membungkuk, aku tahu jika gumpalan daging yang ada di dadaku
itu lagi-lagi bergoyang dan bergelayutan jatuh karena gravitasi. Dan
seiring aku berjongkok, kembali aku melihat ayah mertuaku yang hanya
terbengong-bengong menatap ketelanjangan tubuh indahku.
Kulempar daster dan bra kotorku ke dalam keranjang cuci yang ada di sudut kamar, dan kemudian aku mulai menurunkan CD-ku.
“Pak Bakri, inilah sajian utama dari menantu liarmu ini.” kataku dalam
hati sambil mulai menyelipkan kedua ibu jariku ke karet celana. CD ini
menempel erat di pinggang dan pantatku, dan aku harus menggoyangkan
pantatku guna bisa melepas celana ini dengan cepat.
Sekilas, aku merasa seperti sedang berdansa ketika menyambut
ketelanjanganku. Dan melihat ayah mertuaku yang masih tak percaya akan
apa yang dilihat oleh kedua bola matanya, aku sengaja memutar tubuhku
dan membungkukkan punggungku lagi. Kali ini aku memposisikan tubuhku
dengan pantat yang menghadap ke arah ruang tengah. Tujuanku hanyalah
supaya ayah mertuaku bisa melihat betapa becek dan basahnya vaginaku
saat ini.
“YA TUHAAANNN… apa yang sedang aku lakukan?” tanyaku dalam hati.
Mendadak aku mendengar langkah kaki. Dan seiring dengan suara itu, tiba-tiba aku merasa sangat bergairah.
Aku berbaring di tempat tidur dengan keadaan tubuh telanjang, berharap
ayah mertuaku mendekat dan memasuki kamar tidurku. Dan entah darimana,
aku tiba-tiba berinisiatif untuk segera meraba selangkangan, menyentil
clitoris dan membenamkan kedua jemari lentikku dalam-dalam ke lubang
kewanitaanku. Segera saja, aku mulai bermasturbasi.
Karena birahiku yang sudah begitu tinggi, aku seolah tak peduli jika
saat itu ada lelaki lain yang sedang melihat ketelanjangan diriku. Aku
benar-benar tak mampu menahan lagi rasa gatal yang menggelitik vaginaku.
Aku ingin sesegera mungkin menggaruk dan memuaskan keinginan birahiku.
Dan segera saja, kedua jemariku mulai membawa kenikmatan seiring kocokan
tajamnya pada vaginaku. Hingga akhirnya, ada semburan panas yang
menyeruak ganas pada rongga rahim, dinding vagina dan bibir
kewanitaanku.
“OOOooooouuuugggghhhh…” aku orgasme. Vaginaku mengejang. Memijit,
meremas dan menghisap kedua jariku dengan kuat. Ini adalah orgasme
masturbasi terkuat yang pernah aku rasakan.
Mendadak pandanganku gelap, otot-ototku melemas, dan pikiranku terasa
bebas. Nafsuku menghilang dan tubuhku terasa begitu ringan.
LEGA!!!
Sejenak, setelah mengatur nafas sehabis orgasme, aku tiba-tiba sadar,
jika aku baru saja melakukan masturbasi di hadapan pak Bakri, ayah
mertuaku.
Kuberanjak dari tempat tidur dan segera mengambil handuk yang
menggantung di balik pintu kamar tidurku. Kulilitkan handuk itu di
tubuhku dan mengintip ke arah ruang tengah. Dengan jantung yang masih
berdebar-debar, aku memberanikan diri untuk mengintip keluar dari kamar
tidurku, berharap pak Bakri masih ada disitu. Namun harapanku ternyata
sia-sia, karena ruang tengah tempat ayah mertuaku tadi berada sekarang
kosong. Yang ada hanyalah suara TV yang masih menyiarkan acaranya.
“Kemana pak Bakri berada?”
Entah mendapat pemikiran darimana, aku tiba-tiba ingin memeriksa area
kamar mandi dekat dapur. Dan ternyata benar, ayah mertuaku berada di
dalam kamar mandi itu.
“Sedang apa ya kira-kira ayah mertuaku di dalam kamar mandi? Apakah ia sedang onani?” tanyaku dalam hati.
Dengan hati-hati aku mendekat ke arah pintu kamar mandi dan menempelkan
telingaku ke pintu. Aku bisa mendengarnya terengah-engah dan kemudian,
aku terkejut saat dia mengatakan, “Ohh... Fara, kenapa kamu menggodaku,
nduk?” ucap ayah mertuaku sambil mendesah-desah keenakan.
“Pak Bakri pasti sedang onani.” ujarku dalam hati. “Iya, pasti pak Bakri sedang mengocok penis besarnya.”
Mendadak, rasa penasaran pada diriku muncul seiring dugaan-dugaan yang
ada pada otakku. Mendadak aku ingin melihat, seperti apa bentuk batang
kejantanan pak Bakri ini. Mendadak aku ingin tahu, seperti apa penis
yang kelak bakal mengaduk-aduk liang senggamaku.
“Lubang kunci.” ucap otakku yang dengan cepat memerintahkan mataku untuk
mengintip ke dalam kamar mandi. Dan segera saja, aku berjongkok dan
mulai memeriksa keadaan yang sedang terjadi di dalam sana.
“WOOOOWWWWWW…!!!” pekikku kegirangan.
Melihat ada yang ada di dalam kamar mandi, aku merasa begitu senang.
Sesenang ketika seorang wanita menemukan barang idaman ketika obral
besar, akupun merasa seperti itu ketika mengetahui seperti apa barang
kebanggaan ayah mertuaku. Benar-benar jauh lebih menakjubkan daripada
yang selama ini aku bayangkan.
“Ya Tuhan, penis pak Bakri begitu besar. Jauh lebih besar daripada penis
mas Budi.” girangku sambil terus menatap segala aktifitas yang terjadi
di dalam kamar mandi.
Dengan brutal, pak Bakri mengocok batang penis besarnya. Beliau mencekik
dan menarik-narik daging yang ada di selangkangannya seolah besok tak
ada kesempatan untuk dapat beronani lagi. Kepala penisnya sangat besar
dan berwarna sangat merah, batang penisnya hitam dengan urat-urat yang
menonjol disekujur batangnya.
“Fara, kau membuatku begitu bernafsu. Andai saja kamu bukan menantuku,
pasti sudah aku lumat tetek montokmu. Pasti sudah aku nikmati tubuh
seksimu, nduk… shhhh!” desah pak Bakri dari dalam kamar mandi.
“Fara, jika saja kamu bukan istri anakku, sudah aku hajar memek becekmu,
nduk, kusodok dengan kontol besarku. Aku pengen menidurimu kamu, nduk.
Aku pengen ngentotin kamu, nduuukkkk... ooouugghh… sshhhh…”
OH MY GOD…!!!
“Apa yang telah aku lakukan? Aku telah membuat ayah mertuaku ini
terangsang secara seksual. Aku telah menyebabkan ayah suamiku ini
bermasturbasi dengan membayangkanku!”
Mendadak aku merasa begitu bersalah.
“Seharusnya, aku tak pantas berbuat seperti ini. Aku adalah istri dari
anak kandungnya. Aku adalah wanita yang seharusnya tak memamerkan
tubuhku kepada orang lain. Aku juga seharusnya tak sepatutnya
bermasturbasi dengan membayangkan ayah mertuaku.”
Namun di satu sisi, aku merasa sangat terangsang. Mendengar desahan ayah
mertuaku yang sedang bermasturbasi dengan membayangkan diriku, aku
menjadi benar-benar tersanjung. Nafsuku kembali muncul, sehingga aku
kembali bergegas ke kamar tidurku dan langsung berbaring di atasnya.
Jemari tanganku kembali menyelinap masuk ke dalam celah sempit vaginaku
yang masih basah dan aku mulai mengocoknya sambil membayangkan penis
ayah mertuaku mengaduk-aduk vagina sempitku.
Aku tutup mata dan mulai mendesah-desah. Masturbasi keduaku pun mulai
mendekat, dan tak beberapa lama, aku kembali merasakan nikmat pada
pangkal kakiku. Merasakan orgasme yang dahsyat itu membuat tubuhku
menggeliat-geliat, hingga pada akhirnya aku merasa lemas, ngantuk dan
tertidur pulas dengan pintu kamar yang masih terbuka lebar.
Biarkan saja pintu kamar tidurku itu menjadi saksi bisu tentang kemesuman yang bakal terjadi di rumah ini.
Tak lama, aku mengantuk.
Dan aku tertidur.
Dalam kondisi terlentang tanpa selembar pakaian pun
***
Sore itu, aku sedang menunggu kepulangan mas Budi, suamiku, dan aku benar-benar tak sabar untuk dapat segera bercinta dengannya.
Begitu ia pulang, tanpa basa-basi, aku segera mencium dan mengajaknya
masuk ke kamar tidur. Kami berdua langsung bercinta habis-habisan.
Berulang kali aku memejamkan mata setiap kali mas Budi menusukkan batang
penisnya ke vaginaku. Sambil tersenyum-senyum aku membayangkan jika
penis yang menusukku adalah penis Pak Bakri, penis besar ayah mertuaku.
Dengan membayangkan sosok ayah mertuaku, aku merasakan jika ia
benar-benar nyata. Aku sama sekali lupa jika saat itu, lelaki yang
meniduriku adalah suamiku sendiri.
“Kamu keliatannya sange banget, dek, malam ini?” tanya suamiku keheranan.
Sebuah kalimat yang amat teramat susah buat aku jawab. Apa jadinya aku
jika menjawab pertanyaan suamiku. “Iya, mas, adek sange karena tadi
siang adek masturbasi di depan bapak.”
Aku hanya bisa mendesah-desah sambil memintanya untuk semakin
mempercepat tusukannya. Hingga sebuah gelombang orgasme datang
menggulung tubuhku untuk tenggelam bersamanya.
“Maaasss… Terus, mas… adek mau keluar… maaasssss…!!!” jeritku sambil
terus meminta suamiku supaya semakin mempercepat sodokan penisnya.
Seumur hidupku, aku hampir sama sekali tak pernah merasakan kenikmatan
orgasme sedahsyat itu.
“Baru membayangkannya saja, aku sudah orgasme sedahsyat ini.” aku jadi
merinding sendiri, membayangkan bagaimana nikmatnya jika persetubuhan
yang aku lakukan saat ini adalah persetubuhan dengan ayah mertuaku.
“Aku mau keluar, dek!” pekik suamiku yang ternyata belum orgasme.
Karena keasyikan menikmati lamunan dengan ayah mertuaku, aku benar-benar
lupa, jika dalam persetubuhan ini, masih ada seseorang yang belum
mendapatkan puncak kepuasannya.
Suamiku dengan susah payah mendaki gunung kenikmatan seorang diri.
“Oooouuuugghhtt… terus, mas… terus…!!!” desahku pura-pura.
“Aku keluarin di dalam ya, dek?” tanyanya.
“Iya, mas. Keluarin di memek adek aja.” jawabku sekenanya.
Entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini.
Setelah aku orgasme karena membayangkan persetubuhan dengan penis besar
pak Bakri, aku menjadi sama sekali kurang tertarik lagi untuk melakukan
persetubuhan dengan suamiku. Yang walau aku cukup menikmatinya, aku
menjadi kurang bernafsu akan penis kecil suamiku.
Hingga akhirnya, kami berdua sama-sama kelelahan dan ketiduran dalam kondisi tubuh bergelimang keringat.
***
Pagi telah tiba, dan kesibukan aktifitas sudah kembali seperti hari-hari
biasanya. Namun ada satu hal yang sedikit beda dari hari-hari
sebelumnya. Yaitu, aku yang sekarang merasa agak malu ketika menghadapi
pak Bakri.
Tahu jika beliau melihatku ke arahku saja, aku sudah merasa belingsatan.
Dadaku mendadak berdetak lebih cepat dan nafasku mendadak sesak,
seperti orang yang terkena sakit asma. Cara pandang pak Bakri kali ini
benar-benar beda dari biasanya, agak aneh. Aku merasa, aku harus
menghidar darinya untuk beberapa saat ini.
Namun, tak selamanya aku bisa menghindar dari ayah mertuaku, mengingat
jika selama ini aku masih tinggal bersama di rumah ini. karena setelah
mas Budi dan bu Murni pergi bekerja, mau tak mau, kamipun berduaan lagi
di dalam rumah.
Waktu itu pak Bakri menonton TV dan aku harus melakukan pekerjaan rumah tangga.
Pagi itu, entah kenapa, aku merasa suasana yang terjadi diantara kami
begitu canggung. Ini tak boleh terjadi, aku harus bisa memecahkan
suasana yang dingin ini.
“Pak, bapak mau saya buatkan teh?” tanyaku sopan.
“Hmm… boleh deh, nduk.” jawab ayah mertuaku.
Mendengar jawaban pak Bakri, aku segera ke dapur dan membuatkannya
segelas teh. Dan setelah minuman teh itu jadi, aku segera menyajikan
padanya.
Entah karena takut, sungkan, penasaran atau sudah gila, mendadak, niat
isengku muncul lagi. Tiba-tiba aku ingin memamerkan tubuhku lagi kepada
pak Bakri. Dan sebuah ide terbersit dikepalaku.Jika biasanya aku membuat
teh, di dapur, kali ini aku ingin membuatkan teh untuk beliau tepat di
depan mukanya.
Segera saja aku siapkan secangkir air panas, teh celup, gula dan sendok
kecil yang aku susun diatas nampan. Setelah itu, aku menuju ruang tengah
untuk membuatkan secangkir teh untuk ayah mertuaku.
“Pak, ini tehnya…” ucapku sambil meletakkan secangkir air panas itu di
hadapannya. Aku sengaja memilih posisi berdiri di depan TV, sehingga mau
tak mau, pak Bakri melihat diriku.
“Tehnya dicelup dulu ya, pak.” ucapku lagi sambil mencelupkan kantong teh ke dalam cangkir yang berisi air panas itu.
Dikarenakan posisi meja ruang tengah yang cukup rendah, aku harus
membungkuk guna bisa agak nyaman mencelupkan kantong teh ke dalam
cangkir. Sekaligus memamerkan daging payudaraku yang tersembunyi di
dalam dasterku dari celah leher daster. Aku tahu jika celah leher daster
yang rendah ini dapat memberikan penampakan payudaraku dengan begitu
jelas, oleh karenanya aku sengaja berlama-lama berdiri dalam posisi
membungkuk seperti ini.
“Gulanya berapa sendok ya, pak? Saya lupa.” tanyaku lirih, sambil melirik genit ke arah pak Bakri.
“Sa-satu sendok.” ucapnya terbata-bata. Pak Bakri mendadak mengalihkan
pandangan ke arah TV ketika aku bertanya. Padahal aku tahu, jika sedari
tadi, beliau sedang asyik-asyiknya menatap goyangan payudara menantunya.
Kembali aku tinggal di posisi membungkuk seperti itu selama lebih dari
waktu yang dibutuhkan, dan sekilas aku melihat mata ayah mertuaku
kembali menatap paudaraku yang masih menggelantung di dalam dasterku.
Dan kejadian lucu terjadi.
Saat ayah mertuaku mengangkat cangkir teh, tangannya gemetar dan napasnya menjadi lebih cepat.
“Kenapa, pak?” tanyaku pelan.
“Enggak, enggak kenapa-napa kok.” jawabnya sambil cepat-cepat menyeruput teh yang masih mengepulkan asal putih.
“Wuah! Fuuuhhh… fuhhh… ternyata tehnya masih panas, nduk!” teriaknya kemudian.
“Hati-hati, pak.” saranku sambil tersenyum.
Melihat pak Bakri yang kikuk seperti itu, aku menjadi merasa yakin, jika
saat ini, pikirannya sudah mulai teracuni kembali oleh imajinasi
liarnya tentang diriku. Karena ketika melihat ke arah sarung yang selalu
ia kenakan ketika di rumah, aku melihat ada sebuah benda yang mencuat
dari tengah selangkangannya.
“ASTAGA! Pak Bakri sama sekali tak mengenakan CD di dalam sarungnya.” kagetku dalam hati.
Tiba-tiba aku merasa sangat canggung dan aku segera pamit lalu bergegas
ke kamarku. Setelah beberapa saat, aku mendengar ayah mertuaku beranjak
dari ruang tengah dan pergi dengan buru-buru ke arah kamar tidurnya.
“Dia pasti sedang sange-sangenya…” ujarku dalam hati.
Melihatnya gelisah karena nafsu, semangatku untuk mendapatkan cinta ayah
mertuaku pun semakin menjadi-jadi. Karena, segera saja sebuah ide,
kembali muncul dalam pikiran jorokku.
“Aku ingin pak Bakri mengintipku ketika aku mandi.” itu ide cemerlangku hari ini.
Cepat-cepat, aku segera ke dalam kamar, mengambil handuk dan segera
berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dekat dapur. Dan ketika aku
lewat di depan kamar tidur ayah mertuaku, dengan sengaja aku mengetuk
pintu kamarnya.
“Pak, saya mau mandi dulu. Kalo butuh apa-apa, tinggal bilang saja.“
kataku pelan dari balik pintu kamar tidur ayah mertuaku. Entah
keberanian darimana, aku berkata seperti itu. Karena perbuatan barusan
sama sekali tak pernah aku lakukan selama ini.
Rumah kami, hanyalah rumah kecil yang hanya memiliki dua kamar mandi.
Satu kamar mandi utama yang ada di dalam kamar tidur pak Bakri, dan satu
kamar mandi umum yang ada di dekat dapur. Kamar mandi di rumah ini,
semua menggunakan pintu yang memiliki gagang kenop pintu model kuno.
Gagang kenop yang memiliki lubang kunci di bagian bawahnya.
Biasanya, aku menggantungkan salah satu pakaian di gagang kenop pintu
tersebut guna mencegah orang lain mengintip. Namun kali ini, aku sengaja
tak meletakkan apapun pada gagang kenop pintu itu supaya pak Bakri bisa
mengintip tubuh telanjangku ketika mandi dari luar.
Supaya beliau tahu jika aku sudah berada di dalam kamar mandi, aku
dengan sengaja sedikit membanting pintu kamar mandi. Cepat-cepat aku
melepas semua pakaian yang ada di tubuhku dan bersiap-siap untuk
melakukan pameran tubuh telanjangku padanya.
Sementara aku melucuti semua pakaian, berulang kali aku melirik ke arah
lubang kunci yang ada di pintu kamar mandi, untuk memastikan apakah pak
Bakri sedang menonton. Penantian ini membuat tubuhku menjadi panas
dingin. Puting payudaraku langsung mengeras dan lendir vaginaku mulai
merembes. Nafsu birahiku pun mulai datang, tubuhku mulai merinding dan
detak jantungku mulai berdetak dengan kencang.
Kucubit puting payudaraku dan kuremas daging 36D-ku keras-keras. Aku
mengerang keras keenakan merasakan sensasi geli yang mendadak timbul
seiring remasan tanganku ke payudaraku. Tak tinggal diam, dengan tangan
kananku, aku meraba vaginaku yang sudah benar-benar basah. Menggelitik
klitorisku dan mulai memasukkan jari tengahku ke dalam celah
kenikmatanku.
Kali ini aku tak langsung mandi, melainkan bermain-main dengan aurat
tubuhku terlebih dahulu. Sampai beberapa saat kemudian, dari bawah pintu
kamar mandi, aku melihat ada bayangan mondar-mandir di depan pintu
kamar mandi. Hingga pada akhirnya, bayangan itu sekarang tak bergerak,
berada tepat di depan pintu kamar mandi. Aku kembali melihat ke arah
lubang kunci dan, YUP!
Aku bisa memastikan jika pak Bakri sedang mengawasiku dari situ.
Dan aku tahu apa artinya, inilah saatnya pertunjukanku dimulai.
Dengan punggung yang menghadap ke arah lubang kunci, aku sengaja
melebarkan kedua kakiku. Hal pertama yang akan aku pamerkan kali ini
adalah, pantat bulatku. Pantat indah yang cukup lebar, yang selalu
membuat banyak lelaki melirik ketika aku berjalan, dan aku bangga
karenanya.
Kulebarkan kedua kakiku, membuat pipi pantatku terlihat menonjol.
Perlahan, sambil menyenandungkan sebuah lagu, aku geleng-gelengkan
bongkahan pantatku dan kemudian aku meraba serta meremas daging bulat
yang ada di balakang tubuhku ini.
Dari bayangan yang ada di bawah pintu kamar mandi, aku tahu jika pak
Bakri saat ini masih mengintip. Dan hal itu membuatku semakin bernafsu.
Aku lalu membungkuk dan membuka celah pantatku lebih lebar lagi. Aku
sengaja menarik pipi pantatku kekanan dan kekiri, guna mempertontonkan
celah kenikmatanku yang sudah benar-benar membecek. Merasa pertunjukan
tubuh telanjangku sudah terlalu lama, aku memutuskan untuk segera mandi.
Aku guyurkan air dingin melaui shower yang menggantung di atas kepala,
dan mengusap kulit putih mulusku. Aku mengambil sabun dan mulai
kululurkan ke sekujur tubuhku. Dari posisi yang memunggungi lubang
kunci, sekarang aku memutar tubuh ke samping dan mulai menggosokkan
sabun pada payudaraku. Aku sengaja menggosok payudara dengan posisi
menunduk, supaya pak Bakri bisa melihat, betapa indahnya daging yang
menggelantung di dapan dadaku ini. Setelah itu, aku kembali memutar
tubuhku dan bersandar pada dinding kamar mandi. Kali ini posisiku
berdiri, tepat berhadap-hadapan dengan arah lubang kunci.
“Ooouuugghh… ssshhh…” desahku ketika aku berulang kali mengusap dan meremas payudaraku sembari mandi.
Dengan kedua tangan, aku tangkap daging besar payudaraku dan mulai
memijit mereka bersama-sama. Puting merah mudaku yang mengeras pun
seolah tak mau ketinggalan, mereka sepertinya ingin dipertontonkan juga.
Aku pilin kedua puting payudaraku dan kembali mendesah. “Ooouuughh...
pak Bakri, kenapa kamu selalu menggodaku? Daging besar yang menonjol di
selangkanganmu, selalu membuatku terangsang.” bisikku lirih sambil terus
memilin puting payudaraku.
“Pasti kontolmu jauh lebih besar daripada kontol mas Budi. Pasti bu
Marni selalu ketagihan merasakan sodokan kontol panjangmu.” desahku lagi
sembari mulai menyentil-nyentil daging klitorisku.
“Ouuugghhh… pak Bakri, andai kau adalah suamiku, aku akan selalu
memintamu untuk meniduriku setiap saat. Entotin aku, pak Bakri. Entotin
menantumu ini!”
Melakukan adegan menggairahkan seperti ini, aku merasa tubuhku menjadi
begitu panas. Dengan satu tangan, aku dorong payudaraku ke atas dan
mencoba untuk menghisap salah satu putingku. Tanpa kesusahan, lidahku
mulai menyentuh puting dan menggoda mereka dengan menggerak-gerakkan
lidahku.
Aku lalu membalikkan tubuhku kembali, membelakangi lubang kunci dan
memamerkan kebulatan pantatku. Lagi-lagi, aku membungkukkan tubuhku dan
melebarkan kakiku jauh-jauh. Aku ingin memperlihatkan kepada pak Bakri,
sebecek apa vaginaku saat ini. Jari yang semula hanya mengais-ngais
klitorisku, sekarang sudah mulai mengobok-obok dengan gencarnya. Tidak
hanya satu jari, melainkan 2 jari.
Keluar masuk, keluar masuk, keluar dan masuk dengan lincahnya.
“Oooouughh… pak Bakri, entotin menantumu ini.” ucapku lagi dengan nada yang agak lebih keras.
Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum
itu, yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika
melakukannya. Walau aku tak tahu apakah kalimat-kalimat mesum barusan
bisa terdengar oleh pak Bakri yang sedang mengintip dari lubang kunci,
tapi aku yakin jika beliau mampu melihat nafsu gerak tubuh telanjangku.
Saat ini, ayah mertuaku pasti sangat menginginkanku.
Dan pastinya, aku juga sangat menginginkan dirinya.
Kutusukkan jari tanganku lebih dalam lagi, dan kukencangkan desahan eranganku.
Dari gerak-gerik bayangan yang ada di balik pintu, aku bisa tahu jika
saat ini, ayah mertuaku sangat terangsang. Dan dengan membayangkan yang
ia lakukan dibalik pintu, membuatku semakin bersemangat untuk
mempertontonkan adegan mesumku kepada beliau.
“Masa bodoh pak Bakri akan menganggapku seperti apa! Yang jelas, aku
sama sekali tidak rugi untuk mempertontonkan kemesumanku padanya.”
batinku.
Merasa sedikit capek karena melakukan masturbasi sambil berdiri, aku
memutuskan untuk berbaring di lantai kamar mandi dengan vagina yang
mengarah frontal ke lubang kunci. Kulebarkan kaki jenjangku dan
kuberikan pandangan organ intimku yang sedang aku hajar dengan jemariku
pada pak Bakri.
Aku angkat salah satu kakiku ke udara dan berusaha membuat posisi yang
lebih menantang. Dan dalam posisi itu aku mendorong jari-jemariku lebih
gencar lagi, dan berusaha menunjukkan pada ayah mertuaku jika aku adalah
wanita yang benar-benar cabul. Hingga beberapa saat kemudian, aku
merasakan kehangatan yang muncul dari dalam rahimku.
Aku akan orgasme…
“Ooohhhh… oooohhh… ohhhhsss… pak Bakri, aku mau keluar, pak… menantumu
akan keluar!!!” teriakku lantang. Kali ini, tanpa rasa malu sedikitpunm
aku sengaja meneriakkan namanya.
Tubuhku bergetar tak karuan, sensasi gelinjang kenikmatan itu membuat
tubuhku mendadak lemas tak berdaya. Empotan daging vaginaku terasa
begitu kencang, mengigit jemari tanganku yang masih menggosok dan
mengobel lirih celah kenikmatanku.
“Ooohhh... pak Bakri!!!” teriakku lagi.
Nafasku terasa begitu pendek, aku terengah-engah sambil sejenak
istirahat, menggeletakkan badanku di dinginnya lantai kamar mandi.
Orgasme kali ini terasa begitu dahsyat, begitu nikmat.
Untuk beberapa saat, aku coba mengatur nafas, dan sedikit melirik ke
arah lubang kunci di pintu kamar mandiku. Ayah mertuaku masih setia
mengintipku dari situ. Namun, tunggu sebentar. Ketika aku melihat celah
yang ada di bawah pintu kamar mandi, sepertinya aku menemukan ada
sedikit hal yang janggal.
Aku melihat, ada tetesan lendir kental berwarna bening yang menetes
turun dari balik pintu kamar mandi. Dan setelah sedikit aku perhatikan,
ternyata lendir itu adalah...
“ASTAGAAA…!!!”
Aku bisa memastikan jika lendir kental itu adalah sperma. Pak Bakri
pasti beronani dari balik pintu kamar mandi. Ayah mertuaku pasti sangat
terangsang dan membayangkan kenikmatan yang ia peroleh jika bersetubuh
denganku.
Mendadak, aku ingin sekali menyentuh tetesan sperma yang menetes di
balik pintu kamar mandiku. Aku ingin mengendus aroma sperma dari lelaki
yang selalu aku bayangkan. Aku ingin merasakan bagaimana rasa dan
teksturnya ketika sperma itu berada di dalam mulutku. Aku ingin
merasakannya.
Tiba-tiba, aku memutuskan untuk menangkap basah ayah mertuaku.
Aku ingin dia tahu jika sedari awal aku sadar akan kehadirannya di luar
kamar mandi. Jadi aku sengaja mengambil keran shower, dan
menyemprotkannya keras-keras ke arah lubang kunci kamar mandi.
Dan benar, sepertinya semburan air dari keran shower itu mengenai
tubuhnya. Karena beberapa saat kemudian, aku melihat bayangan yang ada
di balik pintu kamar mandi ini bergerak mundur dan terdengar suara
pantat terduduk mirip suara orang terjengkang.
Lalu dengan buru-buru, aku selesaikan mandiku yang tertunda, membungkus
tubuh basahku dengan handuk dan langsung membuka pintu untuk keluar.
Seterbukanya pintu kamar mandi, aku tak melihat pak Bakri disitu.
“Cepat sekali perginya bapak tua itu.” batinku dalam hati.
Alih-alih mendapati ayah mertuaku di balik pintu, aku malah mendapati
aroma aneh yang sangat aku kenal. Aroma lendir lelaki yang berasal dari
pintu kamar mandi.
Dari luar pintu kamar mandi, aku dapat melihat dengan jelas. Tetesan
lendir kental berwarna keputihan yang masih terlihat begitu segar. Aku
berjongkok dan memperhatikan dengan seksama gumpalan lendir itu. Dan
dengan ujung jari telunjukku, aku usap lendir yang menempel lengket di
pintu kamar mandi itu. Kuendus pelan ujung jariku, dan mencoba meresapi
aroma aneh itu.
“Ini pasti sperma pak Bakri. Dia pasti baru saja masturbasi disini. Dan
Pak Bakri pasti membayangkan diriku ketika ia bermasturbasi.”
Aneh, tiba-tiba aku merasa tersanjung. Aku merasa bangga akan diriku.
Kembali aku cium lendir kental yang ada di ujung jemariku, kuhirup dalam-dalam sperma ayah mertuaku dan lalu, menjilatnya.
“Rasanya asin.” Seumur hidupku, aku baru tahu jika rasa sperma adalah asin.
Karena masih merasa penasaran, aku kembali mengusap lendir yang masih
menempel di pintu kamar mandi dan lalu memasukkan ujung jari yang
berlumuran sperma ayah mertuaku itu ke dalam mulutku. Seolah kesetanan,
berulang kali aku mengusap dan menjilat lendir ayah mertuaku, hingga
hampir semua lendir itu bersih dari pintu kamar mandi.
“Aku merasa kurang puas, aku butuh sperma lelaki idamanku.” ucapku dalam hati sambil buru-buru meninggalkan kamar mandi.
Kembali, aku melihat ke sekeliling kamar mandi dan dapur, namun aku tak
juga menemukan sosok ayah mertuaku.Ternyata,setelah aku akan berjalan
menuju kamar tidurku, aku mendapati pak Bakri sedang duduk di ruang
tengah sambil mengelap leher bajunya yang basah.
Aneh, kenapa setelah aku puas bermasturbasi dengan membayangkan ayah
mertuaku, aku selalu merasa kikuk dan canggung? Seolah ada perasaan
bersalah setiap kali aku harus memandang ataupun bertegur sapa
dengannya?
Tapi, jangan panggil namaku Fara jika aku harus mengalah pada situasi kikuk seperti ini.
“Kerah baju bapak kenapa? Kok basah gitu?” tanyaku dengan berani sambil berjalan mendekat ke arahnya.
Pak Bakri tampak terkejut mendengar pertanyaanku, tapi kemudian ia
tersenyum ke arahku sambil berkata, "I-iya, tadi kecipratan air."
"Air apa? Kok bisa kecipratan air?”
“Tadi habis kena semprot seseorang dari kamar mandi.” jawabnya santai
sambil menatap tubuhku yang masih basah kuyup karena air mandi.
“ Loh, memangnya bapak tadi ada di dekat kamar mandi?”
“Nggak juga sih.“
“Lah terus, kok bisa basah, pak?”
“Iya, tadi bapak butuh sesuatu dan bapak ingin memanggil kamu. Tapi
karena kamu masih mandi, bapak tungguin aja. Tapi kok setelah bapak
tunggu-tunggu, kamu nggak selesai-selesai mandinya…”
“Iya, pak. Saya sedang menggosok badan. Biar bersih, pak. Maklum abis berkeringat.”
“Pantesan lama. Tapi tadi kok tadi sepertinya kamu merintih-rintih di dalam kamar mandi, apa kamu kesakitan? Apa kamu terjatuh?”
DEG…!!!
Ternyata desahan nafasku tadi, dapat terdengar oleh beliau, dan
mendadak, mukaku langsung terasa panas. “Ohh, enggak, pak. Itu saya
sedang…“ aku tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba otakku tak dapat aku
gunakan untuk memikirkan jawabannya.
“Nggak apa-apa kok, bapak sudah tahu. Lagian bapak juga sudah puas…”
“Puas? Puas kenapa, pak?”
Pak Bakri tak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum sambil
meneruskan membersihkan cipratan air yang membasahi leher bajunya.
“Ya udah, kamu buruan pake baju gih. Handuknya khan masih basah, ntar
kalo nggak buru-buru ganti, kamu bisa masuk angin loh.” ucapnya santai
sembari kembali menatapku sambil tersenyum.
Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat secara langsung ke arah mata
ayah mertuaku. Dan dari perhatiannya, aku merasa jika dadaku seolah mau
meledak karena gembira. Mendengar perhatiannya barusan, aku merasa
seperti baru saja ditembak oleh panah asmara. Senang, bangga, bingung,
malu, semua emosi bercampur menjadi satu.
Sejenak, kami berdua saling bertatapan pandang. Kami sama-sama malu, dan kami sama-sama mau.
“Saya ganti baju dulu ya, pak.” ucapku pamit dan memutar tubuhku ke arah kamar tidurku.
Namun, ketika aku mulai melangkahkan kakiku, tiba-tiba pak Bakri
langsung memegang ujung bawah handuk mandiku dan menariknya dengan
paksa.
“Oouuuww! Pak, jangan ditarik, ntar handuk saya lepas!” ucapku genit.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, pak Bakri hanya tersenyum simpul. “Toh
aku sudah melihat isinya.” ucapnya singkat. “Dan itu yang membuatku
susah melupakanmu, nduk.”
Mendengar kalimatnya barusan, aku kembali terbang ke awang-awang, saking senangnya.
“Kamu cantik, nduk.” kata ayah mertuaku. “Dan akan lebih cantik lagi
jika kamu mendekat kesini tanpa selembar pakaian pun.” tambahnya lagi,
sambil kembali menarik handuk mandiku dengan cepat.
ASTAGA...!!!
Handuk kecil yang menutup tubuhku langsung terlepas, dan seketika aku
kembali telanjang. Telanjang di depan mata ayah mertuaku. Telanjang di
depan mata ayah suamiku. Telanjang di depan mata lelaki lain.
“Nggak usah malu, nduk. Bapak tahu kok jika kita saling menginginkan hal
ini terjadi.” ucap pak Bakri dengan nada pelan. Melihat
ketelanjanganku, beliau hanya tersenyum tenang dan memintaku mendekat ke
arahnya duduk.
Dengan tubuh telanjang bulat, aku berjalan menuju ayah mertuaku berada.
“Tunjukan kenakalanmu, nduk.” pinta ayah mertuaku “Bapak tahu, jika
sebenarnya kamu adalah wanita yang sangat nakal. Wanita nakal yang
sangat bapak inginkan.”
Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat permintaan dari ayah mertuaku.
Namun, PERSETAN! Aku sudah sangat terangsang, aku sudah tak peduli
dengan image seorang istri setia. Yang jelas, saat ini, aku ingin segera
ditiduri pak Bakri,ayah mertuaku. Aku ingin mengarungi kenikmatan
birahi bersama ayah suamiku. Aku ingin memiliki suami ibu mertuaku
seorang diri.
Terlebih lagi, ketika aku melihat ayah mertuaku kembali mengelus-elus
tonjolan sarung yang ada di depan selangkangan beliau yang sudah
menjulang tinggi, aku langsung membayangkan batang kejantanannya.
“Bukankah beberapa waktu tadi penis itu baru saja orgasme, namun
sekarang sudah mengacung tinggi lagi?” heranku. “Pasti penis pak Bakri
bukan penis biasa. Pasti penis itu mampu menggaruk kegatalan liang
vaginaku. Pasti penis itu dapat selalu memuaskankan dahaga birahiku.”
Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku
mulai menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku.
Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri lagi untuk memamerkan
tubuh telanjangku di depan ayah mertuaku. Dan sedikit demi sedikit, aku
mulai memerintahkan alam bawah sadarku supaya membuatku merasa menjadi
pelacur pribadinya.
“Sini, nduk. Duduk di samping bapak.” pinta pak Bakri sambil melambaikan tangannya ke arahku.
Aku mengangguk dan mulai berjalan mendekat. Sambil berjalan pelan,
kutangkap pipi pantatku dan mulai kuremas gemas. Kugoyangkan pinggulku
dengan genit sembari berjalan mendekat.
ASTAGA...!!!
Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan ayah
mertuaku, aku seolah merasakan sensasi birahi yang sangat menggebu.
Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan. Aku
sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah
perbuatan dosa, sebuah dosa yang akan membawa kenikmatan bagi diriku,
dan ayah mertuaku.
Dan ketika aku sudah mendekat ke arah tempat pak Bakri duduk, aku tak
langsung duduk disampingnya, melainkan memutar tubuhku dan
membelakanginya.
Aku tiba-tiba ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanita
kepada ayah mertuaku. Aku ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang
sudah sangat membasah kepada beliau. Aku ingin pak Bakri menangkap dan
menusuk vaginaku dengan penis besarnya dari belakang lalu menumpahkan
sperma panasnya di dalam rahimku.
“Jembut kamu lucu, nduk, hitam dan tebal sekali.” puji pak Bakri.
“Sibakkan pantatmu lagi donk, bapak pengen lihat liang memekmu.”
pintanya lagi.
Seolah mendapat hypnotis, entah kenapa aku menarik lebar-lebar pipi pantatku ke samping.
“Woooww! Memek kamu sudah benar-benar basah ya, nduk?” tanya pak Bakri
sambil memiringkan kepalanya, berusaha melihat liang kewanitaannku
dengan lebih jelas lagi.
“I-iya, pak. Sudah sangat basah.”
“Kamu benar-benar wanita nakal, nduk.”
“Tapi bapak suka khan?”
Kembali, aku raba dan remas pantat bulatku tepat di depan ayah mertuaku
duduk,berusaha menggodanya sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku.
Dengan jelas, aku berlagak seperti seorang pelacur yang sedang
memberikan undangangratis kepada lelaki lain untuk dapat meniduriku.
Yang yang pasti, saat ini aku benar-benar ingin mendapatkan entotan dari
ayah mertuaku.
“Entotin aku, pak. Entotin menantu binalmu ini.” ucapku membatin sembari bergoyang erotis. Aku seperti cacing yang kepanasan.
Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta
akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk mengulum
puting payudaraku, aku berani untuk menyentil klitorisku, dan aku berani
untuk mengobel liang vaginaku. Sekarang, aku melakukan masturbasi di
depan mata ayah mertuaku.
“Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh...” desahku pelan sambil
menggelinjang-gelinjang keenakan. Kutusuk vagina basahku dengan
jemari-jemari tanganku, kukobel klitorisku, dan kupilin-pilin puting
payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak.
Hingga pada akhirnya, gelombang hangat itu kembali aku rasakan.
“Ooouuuugggggghhhhhhh… paaaakkk, Fara keluar…” desahku spontan.
Tubuhku menggigil merasakan gelombang orgasme yang segera aku rasakan
ini. Orgasme special yang aku dapatkan hanya dari bermasturbasi di
hadapan lelaki yang bukan suamiku. Orgasme special yang aku peroleh
hanya karena mendapat tatapan mata lelaki lain. Orgasme special yang aku
rasakan hanya karena imajinasiku dengan pak Bakri, ayah mertuaku.
Gelinjang nikmat, tak mampu aku tahan lagi. Otot tubuhku mengejang,
lututku melemas, dan pandangan mataku mengabur. Aku tak sanggup lagi
berdiri di hadapan ayah mertuaku, aku harus menyandarkan tubuhku.
Dengan sisa-sisa tenaga dan vagina yang masih berdenyut hebat, aku
bergegas ke kamar tidurku dan merebahkan tubuhku disana. Aku berbaring
dengan kondisi tubuh telanjang dan mencoba mengatur nafas.
Sambil merasakan denyut-denyut kenikmatan di vaginaku yang tak kunjung
berhenti. Perlahan, aku merasa tubuhku menjadi terasa begitu ringan,
seringan kapas. Saking ringannya, hingga terasa melayang ke udara.
***
Terlelap. Aku tertidur.
Aku tak tahu, sudah berapa lama aku tertidur seperti ini. Kubuka mataku
perlahan, kutatap pintu kamar tidurku yang masih terbuka lebar. Aku
tidur dalam posisi miring, meringkuk dengan posisi udang. Yang jelas,
ketika aku terbangun, aku merasa ada sesosok lelaki yang juga ikut tidur
di belakang tubuhku.
‘OH TUHAN! Apakah dia pak Bakri?” batinku mempertanyakan sosok lelaki yang ada di belakang tubuh telanjangku.
Kuhirup nafas dalam-dalam dan mencoba mengendus aroma lelaki yang tidur
dikamar ini. Dan dari aroma khas ini aku yakin jika, “Astaga! Dia
benar-benar ayah mertuaku!”
Entah karena gengsi atau malu, yang jelas aku tak berani menunjukkan
kepada pak Bakri jika saat itu aku sudah benar-benar terjaga. Jadi satu
hal yang bisa aku lakukan saat itu adalah, hanyalah berpura-pura tidur.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pantatku. Sentuhan itu sangat ringan
seolah-olah dia juga takut jika aku akan terbangun. Dari sentuhan
perlahan berubah menjadi rabaan, dan dari rabaan perlahan berubah
menjadi remasan. Pelan tapi pasti, ayah mertuaku mulai mempermainkan
tubuh telanjangku.
Awalnya pak Bakri hanya mengusap pantat, mengelus paha, meraba pinggang
hingga pada akhirnya, tangan mesum ayah mertuaku mulai meremas-remas
daging bulat pantatku. Mendapat perlakuan tak senonoh dari lelaki yang
sering aku bayangkan, gairahku mulai merasuk dan aku merasakan sesuatu
yang mulai menghangat di celah kewanitaanku.
Lendir waginaku seolah tak pernah ada habisnya, ia akan selalu keluar setiap kali aku merasakan gelombang birahi sekecil apapun.
Dengan terus berpura-pura tidur, secara inisiatif aku mencoba untuk
membalas godaan ayah mertuaku dan menggerakkan tubuhku seolah merasa
agak terbangun. Bukannya aku membuka mata dan menegur ketidak sopanan
ayah mertuaku yang saat itu sedang meraba-raba tubuhku, aku malah
berpura-pura tidur lagi. Namun bedanya, aku mulai berani mendorong
pinggulku ke belakang, sengaja menyajikan pantat bulatku ke tangan ayah
mertua kesayanganku itu.
Tahu alam bawah sadarku merespon tangan mesum ayah mertuaku, tak
beberapa lama, aku mendengar gemerisik pakaian dan yang aku tahu, kasur
tempat tidurku sedikit berguncang. Aku yakin jika saat itu pak Bakri
sedang melepas semua pakaian yang menempel di tubuhnya.
Dan setelah telanjang bulat, kembali ia memposisikan tubuhnya searah
denganku serta meletakkan tangan mesumnya di pantatku sambil berbisik
pelan, "Ohhhh, Fara! Mengapa kamu menggoda bapak seperti ini, nduk?
Mengapa kamu tidak meminta bapak secara langsung? Apakah kamu ingin jika
bapak yang mengambil langkah pertama?” ucap ayah mertuaku lirih.
“Kalo memang itu yang kamu mau... OK, nduk… OK, Bapak disini sekarang!
Bapak sudah siap melayani semua kebinalanmu.” tambahnya sambil terus
mengusap dan meremas pantat bulatku.
Mendapat perlakuan mesum seperti itu, aku sudah pasti tak akan mampu
menahan birahiku. Nafasku mulai memburu dan detak jantungku berdetak
semakin cepat.
“Fara! Fara Sayang! Ya Tuhan, tubuhmu begitu indah, nduk! Tubuhmu begitu
menggoda! Jika seandainya Budi bukan anakku, bapak rela nduk
memperebutkan dirimu dengannya. Bapak rela nduk menukar hidup bapak demi
bisa mendapatkan kenikmatan dari tubuhmu. Bapak rela…”
WOW…!!!
Mendengar kalimat dari ayah mertuaku, apa yang bisa aku katakan untuk
ini? Aku merasa benar-benar tersanjung. Aku merasa benar-benar senang.
Namun karena saat itu aku masih dalam kondisi berpura-pura tertidur, aku
merasa tidak berani bangun.
Tiba-tiba, tangan mesum ayah mertuaku yang semula meremas-remas
bongkahan pantat bulatku pindah, naik ke arah pinggang, lengan dan
akhirnya berhenti di samping payudaraku.
“Oooohhhh…” rasanya begitu berbeda.
Pak Bakri kemudian meraba pelan daging payudara sebelah kananku. Dan
dengan perlahan, beliau mulai meraba, mengusap dan meremasnya.
“Oh Tuhaaannn…!” Merasakan perlakuan mesum ayah mertuaku, aku seperti
merasa berada di penjara. Aku bisa merasakan nikmat sentuhannya tetapi
tidak bisa bereaksi lebih banyak.
ANEH…!!!
Melihat tubuhku yang masih terdiam, Ayah mertuaku semakin berani
melakukan aksi mesumnya. Beliau dengan sengaja memajukan tubuh
telanjangnya dan menempelkannya ke tubuh telanjangku dari belakang.
ASTAGA...!!!
Aku bisa merasakan, batang panas yang sangat panjang menempel diantara
celah pantatku. Batang yang aku tahu pasti sedang berusaha menunjukkan
kebesaran dan kekokohannya pada diriku. Pasti ayah mertuaku saat ini
sudah sangat terangsang. Terbukti dari batang penisnya yang sudah terasa
begitu keras mendorong daging pantatku.
“Batang berkedut pak Bakri, mertuaku, sudah ada di dekat celah
kenikmatanku! Sepertinya batang beruratnya sudah siap untuk menjajah
lubang kewanitaanku. Sebentar lagi, batang panjang ayah suamiku ini
pasti bakal memuaskan vagina milik istri anaknya!”
Tiba-tiba aku merasa serba salah.
Di satu sisi, aku yang masih berpura-pura tidur dan sama sekali tak
berani membuka mata, namun disisi lainnya, aku sangat menginginkan untuk
dapat menanggapi semua kemesuman ayah mertuaku.
“Fara, tubuhmu seksi sekali, nduk. Bapak benar-benar tak bisa menahan
nafsu.” bisik lirih ayah mertuaku ke telinga kananku. “Bapak benar-benar
ingin menikmatin tubuh indahmu ini.” tambahnya lagi.
Aku tetap terdiam. Tetap berpura-pura tidur.
Tiba-tiba, aku merasakan tangan mesum ayah mertuaku menelungkupkan
jemarinya di payudara kananku. Meraba, meremas dan memilin puting
payudaraku dengan gemas. Garutan dan usapan kulit tangan kasarnya di
kulit payudaraku, membuat bulu kudukku merinding.
“Ooouuuhhhh…” desah nafasku tertahan. Remasan tangan ayah mertuaku
terasa begitu nikmat. Walau Mas Budi, suamiku sering sekali meremas dan
memilin putingku, tapi entah kenapa rasanya sangat berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh ayah kandungnya ini.
Pak Bakri, ayah mertuaku, terus meremas payudaraku dengan perlahan.
“Tetekmu benar-benar besar, nduk, sampai tak muat tanganku meremas
daging bulatmu ini.” ucap ayah mertuaku sambil sesekali mengecup lengan
dan bahuku.
Perlahan, remasan tangan ayah mertuaku di payudara kananku semakin kuat.
Sepertinya ia sengaja ingin membuatku terbangun. Namun. Entah kenapa,
walau sudah jelas beliau mengajakku untuk melakukan perzinahan, aku
masih benar-benar malu dan takut.
Walau aku masih berbohong dengan berpura-pura tidur, tubuhku seolah
mengkhianatiku. Wajahku mulai bersemu merah, nafasku mulai menderu,
payudaraku mulai mengeras, putingku mulai mencuat, dan vaginaku semakin
membasah. Semua karena perlakuan mesum ayah mertuaku.
Pak Bakri masih terus merangsang tubuh diamku. Berulang kali beliau
meremas dan memilin payudaraku demi mendapat respon dariku. Hingga
tiba-tiba tangan mesum beliau berpindah dari payudaraku dan meraba
vaginaku.
“Wooow! Sepertinya sudah ada yang sange nih.“ kata ayah mertuaku
perlahan sambil mulai memilin-milin rambut kemaluanku sembari
menggelitik klitorisku yang sudah mengeras. ”Nduk, ternyata kamu sudah
siap dientot ya?” tambahnya lagi.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya bisa terus berpura-pura tidur.
Padahal, jika ayah mertuaku tahu yang sebenarnya, aku sudah benar-benar
sangat menginginkan tawaran beliau.
“Iya, pak, iya. Aku sudah benar-benar sange. Aku sudah sangat ingin
ditusuk oleh kontol besarmu. Entot aku, pak!” pintaku dalam hati.
Kuhembuskan nafas panjang dan terus berpura-pura tidur.
Melihat responku, tiba-tiba ayah mertuaku menusukkan salah satu
jemarinya ke dalam celah vaginaku. “Hhhhssssshhhh... oouuuhhh…” teriakku
tertahan dan secara reflek aku memundurkan pinggulku.
Akibatnya, pantatku menabrak penis pak Bakri yang sudah berkedut hebat.
Di depan vaginaku ada jemari tebal pak Bakri yang mulai mengocok
vaginaku, dan di belakang pantatku ada batang raksasa ayah mertuaku yang
sudah siap menusuk. Maju kena, mundur kena. Malu, sungkan, geli,
merinding, pengen, semua emosi bercampur menjadi satu. Emosi yang pada
akhirnya hanya menyimpulkan satu kata. NIKMAT!
“Kamu sudah siap, nduk?” tanya ayah mertuaku lagi. “Kamu terus tidur saja, nduk. Biar bapak yang bakal memuaskanmu.”
“OOhhh… jangan goda aku lagi, pak. Aku sudah nggak tahan lagi. Buruan,
pak!Buruan ENTOTIN menantumu binalmu ini.” pintaku dalam hati sambil
kembali menarik nafas panjang.
“Hmmm… okelah, nduk, bapak anggap kamu juga ingin segera merasakan
kenikmatan bersama-sama. Siap-siap, nduk, bapak bakal memuaskan
birahimu.”
Seolah mampu membaca kata hatiku, pak Bakri segera menyelipkan telapak
kaki kanannya di antara kedua kakiku, dan dengan perlahan ia mulai
mengangkat betis kaki kananku keatas. Mencoba untuk membuka celah
vaginaku lebar-lebar. Dan setelah betisku terangkat, ia segera memajukan
pahanya dengan tujuan mengunci paha dan kakiku supaya tetap membuka.
Cara yang unik sekali.
PLEKK…!!!
“Panas sekali,” kurasakan penis besar pak Bakri yang tiba-tiba menempel pada mulut vaginaku.
“Memek kamu benar-benar hangat, nduk. Gemuk!” bisiknya pelan sembari mulai memajukan pinggulnya.
Dan dengan tangan kanannya yang masih mengobel celah vaginaku, tanpa
kesulitan beliau menempelkan batang penisnya yang sudah mengeras panjang
pada pembukaan celah vaginaku.
“Pasti memek kamu sempit sekali ya, nduk?” ucap pak Bakri yang mulai memajukan batang penisnya.
“Inilah saatnya. Inilah kenikmatan yang aku tunggu-tunggu sejak lama.
Ayo tusuk, pak. Tusuk memek anak menantumu ini. Setubuhi istri anakmu…”
Kumundurkan lagi pantatku guna menyambut batang kejantanan ayah
mertuaku. Kubuka kakiku lebar-lebar dan bersiap-siap merasakan
kenikmatan darinya. Dan karena saat itu vaginaku sudah benar-benar
membanjir basah karena cairan kenikmatanku, dengan sekali dorong, penis
raksasa ayah mertuaku itu dapat menguak liang tubuhku.
Tapi, LOOOOHHHH…!!!
Ternyata pak Bakri tak segera melesakkan kepala penisnya ke dalam celah
kewanitaanku. Beliau malah sengaja menggoda birahiku dengan cara
menggesek-gesekkan batang penisnya di mulut vaginaku. Maju mundur, maju
mundur, maju dan mundur. Berulang kali pak Bakri menggaruk lubang
kenikmatanku dari luar.
“Ssshh… enak, nduk?” desah pak Bakri pelan sambil terus memaju mundurkan
pinggangnya. “Luar memeknya aja sudah legit gini, apalagi lubangnya ya,
nduk? Pasti menggigit sekali!” tambahnya.
Tiba-tiba, pak Bakri menggenggam telapak tanganku dan membawanya turun
ke selangkanganku. Di tempelkannya tanganku pada selangkanganku dan
meminta jemari lentikku untuk mengurut kepala penisnya setiap kali
kepala penis itu muncul dari gundukan vaginaku.
Dan dari situ, aku bisa tahu jika pak Bakri memiliki penis yang istimewa.
Merasakan ada suatu keanehan dibawah sana, aku yang masih berpura-pura tidur, mencoba untuk melirik ke arah selangkanganku.
“Astaga! Ternyata penis pak Bakri benar-benar panjang.” kagumku yang
melihat batang hitam milik ayah mertuaku berulang kali nongol dan
tenggelam di balik tonjolan daging gemuk vaginaku. Walau sudah melewati
tubuh bawahku, aku masih bisa melihat kepala dan sedikit batang penis
pak Bakri.
Penis yang ada di bawah selangkanganku itu terlihat begitu mengkilap
karena terbasuh oleh lendir vaginaku. Dan karena gesekan-gesekan batang
berurat millik ayah mertuaku itu, aku merasa vaginaku menjadi semakin
gatal.
“Ooouuugghhh, pak! Jangan siksa aku seperti ini, pak! Aku sudah nggak tahan lagi.” ucapku dalam hati.
Berulang kali, pak Bakri menggodaku. Memaju mundurkan pinggul dan batang
penisnya. Namun alih-alih mendapat kenikmatan akan sodokan batang
berurat miliknya, aku hanya merasa gatal karena gesekan batang penisnya
di mulut vaginaku.
“Aku harus bisa memasukkan penis itu ke dalam vaginaku!” Aku sudah
kehabisan akal, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba terbersit
sebuah ide.
Untuk beberapa saat, pak Bakri masih saja menggodaku, menggesek-gesekkan
batang penisnya diluar mulut vaginaku. Membiarkan jemari tanganku
mengurut kepala penisnya dari depan vaginaku setiap kali ia mendorong
dan menarik batang penisnya.
“Lendir kamu banyak sekali, nduk.“ bisik pak Bakri sembari menarik
penisnya mundur. ”Bapak suka memek yang becek seperti ini. Bapak suka!”
tambahnya lagi ketika akan memajukan penisnya.
“Inilah saatnya.” girangku. “Ayo sodok, pak! Buruan majuin batang tititmu keras-keras!”
Aku harus gunakan jemari tanganku yang masih berada di depan selangkangannya.
Ketika pak Bakri memundurkan pinggangnya, aku sengaja mengarahkan kepala
penis pak Bakri ke dalam mulut vaginaku. Dan benar seperti prediksiku,
ketika beliau memajukan penis dan pinggulnya, jemari tanganku yang
menahan penis itu supaya maju kedepan, secara otomatis membelokkannya ke
arah mulut vaginaku.
HEEEEEGGGGGG…!!!
Nafasku mendadak tersekat, jantungku mendadak terhenti dan kesadaranku mendadak memudar.
“SAAAKKITTT…!!!” hanya satu kata itulah yang bisa aku rasakan ketika
batang penis berukuran besar milik ayah mertuaku secara paksa menerobos
rongga kenikmatanku. Secara reflek, karena menerima tusukan tajam dari
penis pak Bakri, tubuhku menggeliat maju ke depan. Berusaha menjauh dari
hujaman batang penis ayah mertuaku.
“Wwwoooooaaaaa…!!!” pekik pak Bakri keenakan ketika tiba-tiba merasakan
batang penis yang didorongnya maju ternyata berbelok ke atas dan masuk
ke dalam vaginaku.” Enak banget, nduuukkkk…” rintihnya.
“GILA!!!” desahku dalam hati. “Sakit sekali…!!!”
Aku tak pernah tahu, jika sakit yang aku rasakan bakal seperti ini.
Walau saat itu vaginaku sudah berlumuran lendir pelicin dan sudah siap
menerima penetrasi sebuah penis, aku tak pernah tahu jika sakitnya akan
benar-benar pedih.
Sepertinya vaginaku yang sebelum-sebelumnya hanya menerima sodokan penis
kecil milik mas Budi, belum terbiasa untuk dapat menerima batang super
besar milik pak Bakri. Dan aku tahu, jika aku ingin cepat mendapat
kenikmatan perzinahan ini, aku harus sesegera mungkin beradaptasi dengan
ukuran dari penghuni baru vaginaku.
“Aku harus mampu menahan rasa sakit ini.” keluhku dalam hati. Mencoba untuk tak menghiraukan rasa pedih di vaginaku.
“Memek kamu benar-benar basah, nduk.” kata ayah mertuaku dengan nada keenakan. “LEGIT!!!”
Berulang kali, pak Bakri mencium tengkuk dan pundakku dari arah
belakang. Mencoba untuk memperlancar jajahan batang penisnya yang sudah
setengahnya terbenam di dalam celah kenikmatanku.
Dengan sedikit tekanan, Pak Bakri kemudian mulai menggerakkan pinggulnya
maju dan menusukkan batang panjangnya ke dalam vaginaku. Karena aku
sudah benar-benar merasa terangsang, rasa sakit itu perlahan menghilang
dan berubah menjadi rasa geli nikmat.
Sekuat tenaga aku mencoba merenggangkan otot-otot vaginaku, membiarkan
batang nikmat ini menggaruk kegatalan yang ada di dalam rongga
kewanitaanku. Hingga setelah beberapa saat, tak ada lagi hambatan yang
dirasa ketika batang penis ayah mertuaku menusuk celah kenikmatanku.
Mulai dapat meluncur dengan cukup mudah.
“Enak sekali memek kamu, nduk. Jauh lebih enak daripada memek istriku
yang sudah kendor.” puji ayah mertuaku sambil menyentil-nyentil daging
klitorisku. “Dan satu lagi yang kusuka dari memekmu, nduk. Lendirmu
benar-benar banjir.”
Ada sedikit kebanggaan dan keanehan yang kurasa dari ucapan ayah
mertuaku barusan. Bangga, karena pujian yang dilontarkan ayah mertuaku
akan kenikmatan dari jepitan vaginaku. Dan aneh, karena ayah mertuaku
berbeda dengan banyak lelaki lain yang menyukai vagina keset, ternyata
ayah mertuaku lebih suka vaginaku yang berlendir.
“Ya Tuhan, perzinahan ini terasa sangat nikmat!” ucapku dalam hati.
”Ayo, pak, setubuhi aku! Tiduri menantumu! Hamili istri anakmu ini!”
pintaku dalam hati sambil terus menyuguhkan pinggulku ke arah belakang.
Perlahan tapi pasti, gelombang orgasmeku mulai datang.
“Gila, nduk, lendir memekmu sepertinya tak ada habisnya.” ucap pak Bakri
yang kali ini tangannya menggempur klitorisku dengan gemas. “Memekmu
wangi dan rasa asinnya, bikin ketagihan.” Berulang kali, ayah mertuaku
mengobok vagina basahku, membasuh jemari tangannya dengan lendir
pelumasku, lalu mengisap bersih-bersih dengan mulutnya.
“Beda sekali dengan ibunya Budi. Memeknya sepet, bikin sakit kontolku
aja.”Kembali aku dibanding-bandingkan dengan istri pak Bakri. Dan
kembali aku merasa tersanjung mendengar kalimatnya.
Ayah mertuaku memang penuh dengan kejutan. Terbukti ketika aku sedang
mencoba mendalami kenikmatan baru dari persetubuhan terlarang kami,
tiba-tiba beliau mencabut batang penis panjangnya dari vaginaku.
“Memek kamu pasti rasanya enak sekali ya, nduk?” tanyanya tiba-tiba.
Dengan cepat pak Bakri memutar tubuhnya, membungkukkan kepalanya ke arah
selangkanganku dan menggantikan sodokan batang penisnya dengan lidah
kasarnya.
“HHHhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…!!!” enak sekali, pak!
Baru kali ini aku merasakan kegeli-nikmatan dari sebuah lidah lelaki.
Sebenarnya, sudah ratusan kali mas Budi meminta diriku supaya mau untuk
menerima seks oral darinya, tapi karena aku merasa vagina bukanlah
anggota tubuh yang pantas untuk dijilat, ratusan kali pula aku
menolaknya. Rasanya aneh, risih, geli, jijik dan ngilu. Sama sekali
nggak ada nikmat-nikmatnya.
Namun, entah kenapa ketika melakukan seks oral dengan pak Bakri, aku
merasa begitu menikmatinya. Aku merasa benar-benar keenakan. Rasanya
benar-benar berbeda jika aku melakukan dengan suamiku.
“Aku pengen terus bisa melakukan perzinahan ini. Aku menikmatinya. Aku
tak ingin segera berakhir. Ya Tuhaaannn, enak sekali!!!” desahku dalam
hati.
Karena aku masih berpura-pura tidur, aku tak bisa banyak-banyak
mengekspresikan diriku. Aku hanya bisa terdiam sambil menggigit bibirku
keras-keras setiap kali aku merasakan kenikmatan dari jilatan lidah pak
Bakri.
Lidah lelaki tua itu seolah menari-nari didalam vaginaku, menggelitik setiap senti pori-pori vaginaku.
“Hhhhhhsss…” Sepertinya, ayah mertuaku ini memiliki jutaan tehnik
bercinta yang membuatku ketagihan. Dengan hanya mendorongkan lidah dan
menjilat rongga vaginaku, tiba-tiba aku merasa seperti di ambang
orgasme.
“Oooooohhhhhhhh… sssshhhhh…”
Berhasil!!!
Orgasmeku datang dan vaginaku memuncratkan cairan kenikmatannya. Tubuhku bergetar dan mengejang hebat.
Aku tak sanggup berpura-pura tidur lagi. Aku sudah tak mampu menahan
nafsu birahiku lagi. PERSETAN jika pak Bakri menganggapku wanita
murahan. Yang jelas, saat itu aku sudah benar-benar merasa ingin
mendapat jutaan kenikmatan darinya.
Aku yang semula diam, sekarang sudah berani memegang lembut kepala ayah
mertuaku yang sedari aku orgasme, masih saja berada di selangkanganku.
Namun sekuat apapun aku berusaha menjauhkan kepala beliau dari
selangkanganku, sekuat itu pula ia mempertahankan posisinya supaya tetap
menjilati vaginaku di bawah sana.
“Memek kamu benar-benar enak, nduk.“ ucap pak Bakri sambil membenamkan
mulutnya di liang vaginaku, menghisap kuat-kuat rongga kewanitaanku. Ia
seolah tak membiarkan ada sedikitpun lendir orgasmeku yang terlewat
olehnya. “ENAK BANGEEEETTTT...!!!”
Pak Bakri memang ahli merangsang wanita, karena beberapa saat setelah
orgasme, birahiku mulai kembali lagi. Semua itu hanya ia lakukan dengan
lidah ajaibnya. Dengannya, aku merasakan surga.
“Sekarang giliran bapak ya, nduk?” Ucapnya sambil tersenyum. “Bapak bakal ngehukum mantu bapak yang nakal, hehehe…”
Dalam satu gerakan cepat ia kembali ke posisi semula, memutar tubuhnya,
merenggangkan kakiku dengan pahanya dan menempatkan penisnya ke arah
pangkal pahaku.
“Kamu sudah siap, nduk?” tanya pak Bakri yang mulai menggoda birahiku
lagi dengan cara menggesek-gesekkan batang penisnya di luar mulut
vaginaku.
“Hhhhhhhhhh…” aku tak menjawab. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.
“Siap-siap ya, nduk… bapak mau masukin kontol besar bapak ke memek sempit menantu nakalnya.”
Karena vaginaku yang masih berlumuran lendir pelicin, dengan sekali
dorong beliau mampu memasukkan seluruh batang penisnya ke dalam
vaginaku.
HHEEEEEGGGGGHHH…!!!
Sejenak, aku merasakan lagi rasa penuh dan sakit akibat sodokan penis
besar pak Bakri yang buru-buru itu. Namun, beberapa saat kemudian rasa
sakit dan penuh itu perlahan sirna. Tergantikan oleh rasa gelinjang geli
dan nikmat yang tiada tara.
Kembali aku merasakan keanehan pada tubuhku. Jika biasanya, setelah
orgasme aku merasakan ngilu pada vaginaku dan menolak segala macam
stimulus, namun kali ini, aku tak merasakannya sama sekali. Malahan yang
ada, aku merasa begitu ingin segera merasakan sodokan-sodokan kasar
ayah mertuaku.
“Apakah aku sudah berubah menjadi wanita binal? Wanita pelacur yang selalu gatal akan siksaan penis-penis lelaki lain?”
Sodokan sodokan batang penis pak Bakri semakin dalam. Setiap kali beliau
menyodok, semakin dalam pula gatal yang aku rasakan pada dinding
vaginaku.
“Akhirnya, nduk. Mentok.” ucap ayah mertuaku yang tiba-tiba memeluk
tubuhku dari belakang. “Bapak bisa memasukkan seluruh kontol bapak ke
dalam memekmu.”
Kami menggunakan “spoon position”. Posisi yang memungkinkan persetubuhan dengan cara memeluk dari belakang.
Perlahan tapi pasti, pak Bakri mulai menggerakkan pinggangnya,
menusukkan batang raksasanya dengan gerakan super lambat. Saking
lambatnya, aku bisa merasakan urat-urat yang menonjol di sekujur batang
penisnya menggaruk dinding vaginaku.
Bersetubuh dengan ayah mertuaku, aku baru sadar jika penis bisa memijit,
aku juga baru sadar jika penis bisa menggaruk kegatalan dinding vagina,
dan aku baru sadar jika penis bisa menjadi seperti vacuum yang menyedot
serta mengisi kenikmatan di liang vagina wanita.
Semenjak bercinta dengan pak Bakri, aku merasa seolah kenikmatan darinya
mampu membalik pemikiranku tentang bercinta dengan mas Budi.
Benar-benar berbeda.
JIka dibandingkan, bercinta dengan suamiku sekarang terasa begitu aneh.
Bersama suamiku, aku hanya merasa geli, capek, dan terkadang risih.
Sehingga secara tak langsung, aku seolah menjadi kurang tertarik jika
harus bersetubuh dengan penis kecil suamiku lagi.
Bersama pak Bakri dan batang penisnya yang sebesar botol air mineral,
aku merasa berbeda. Ritme, teknik, dan ukuran kejantanan mereka jauh
berbeda, sehingga ketika bersama ayah mertuaku itu, aku seolah tidak
bisa menolak segala macam kenikmatan yang ia hujamkan ke dalam liang
vaginaku.
“Ssshh… oooohhh… hhhsss…” merasakan sodokan-sodokan penis ayah mertuaku,
mau tak mau mulutku mulai mendesah. Akting pura-pura tidurku tak lagi
aku hiraukan. Kenikmatan ini tak mampu lagi aku tahan dan bendung.
“Enak, nduk?” tanya pak Bakri sambil terus menyodok-nyodokkan batang penis panjangnya pada vaginaku.
“Eehhhhmmmmm… sshhhh…” aku tak menjawab, hanya bisa mengangguk dan mendesah lirih.
“Gak usah pura-pura tidur lagi ya, Fara sayang.“ ucap ayah mertuaku
sembari mengecup tengkuk leherku.” Bapak tahu kok jika kamu
menikmatinya.”
“Ehhhmmmmm… ooouuugghhh…” jawabku lagi.
“Mau ganti posisi, nduk?”
“Ssshhh… ooouuugghhh…” lagi-lagi aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepalaku pelan.
Merasa sodokan nikmat penis pak Bakri, aku sudah tak lagi peduli jika
beliau tahu selama ini aku hanya berpura-pura tidur atau sudah
terbangun. Bagiku tak ada bedanya.
PLOOOPPP…!!! Suara yang terdengar ketika pak Bakri mencabut penis panjangnya secara tiba-tiba dari vaginaku.
“Telentang, nduk!” pinta pak Bakri singkat. Tampaknya ayah mertuaku benar-benar yakin jika aku mau menuruti permintaannya.
Benar saja, aku menggerakkan tubuhku ke kanan dan telentang pasrah,
menunggu sodokan tajam penis ayah mertuaku. Di hadapannya entah kenapa,
aku selalu bisa pasrah, mirip boneka yang selalu menuruti perintah
pemiliknya.
Dengan perlahan, pak Bakri mengangkat betisku dan meletakkannya di
pundaknya.Kali ini ia sepertinya ingin menggunakan posisi misionaris.
Pak Bakri menyetubuhiku dengan kekuatan penuh. Batang penisnya menghujam
dengan cepat. Keluar masuk dengan diringi suara kecipak lendir
kenikmatanku. Saking cepatnya, ada busa putih yang keluar dari vaginaku
seiring keluar masuknya batang penis ayah mertuaku.
“Bapak mau keluar, nduk. Bapak mau ngecrot!” bisik ayah mertuaku dengan tak menghentikan sodokan tajam penisnya.
Tak beberapa lama kemudian, aku merasakan jika tubuh ayah mertuaku mulai bergetar. Nafasnya menderu dan matanya terbalik, putih.
“Keluar dimana, nduk? Keluar dimanaaa?” tanya pak Bakri padaku ketika ia akan mendapatkan gelinjang kepuasannya.
Namun sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, beliau keburu ORGASME.
“OOOOUUUUGGGGHHHHHHH... FARAAAAA!!!” teriak pak Bakri lantang sambil
menghujam-hujamkan batang penis besarnya sejauh mungkin ke dalam
vaginaku.
Segera saja, aku merasakan 7 kali semprotan air mani panas di dalam
dinding vaginaku, dan beberapa detik kemudian orgasmeku pun menyusul.
Orgasme bersama pak Bakri, aku merasakan KLIMAKS yang benar-benar NIKMAT!
Penisnya berkedut dengan hebat, seolah menggelembung dengan besar.
“Bapak puas, nduk. Bapak benar-benar puas.” ucapnya padaku sambil tersenyum. “Makasih ya, nduk, istri baruku…”
“Istri baruku?” aku tak percaya akan ucapan beliau barusan. Apa maksud dari kalimat “istri baruku” itu?
Masih merasa terheran-heran akan perkataan pak Bakri barusan, kembali ia
melakukan satu hal yang selama ini tak pernah aku duga-duga. Tiba-tiba
pak Bakri memajukan wajahnya dan mencium mulutku. Beliau menciumku
dengan bertubi-tubi, seolah tak akan ada lagi hari esok.
Mendapat ciuman dari ayah mertuaku, seketika aku menjadi bangga dan
tersanjung karenanya. Pipiku merona dan aku pun mulai memagut mulutnya,
membalas ciuman dari ayah mertuaku.
“Istri baruku. Istri baru pak Bakri. Istri baru ayah mertuaku.”
Berulang kali kalimat singkat itu terngiang-ngiang di telingaku. Aku
yakin jika sekarang ayah mertuaku sudah jatuh ke dalam dekapanku. Karena
dari cara beliau menciumku, aku bisa tahu jika baginya, aku seolah
wanita yang benar-benar ia inginkan.
Setelah ejakulasi, pak Bakri menjatuhkan tubuhnya disampingku, tengkurap
dengan wajah menghadap kearahku dan tangan yang memeluk perut
rampingku. Melihat ayah mertuaku sudah kecapekan, aku hanya bisa kembali
pasrah, telentang menghadap langit-langit kamar sambil mencoba mengatur
nafas. Kami berdua merasa sangat lelah, namun puas.
Tak henti-hentinya, pak Bakri menciumi tubuh telanjangku sekenanya.
Tangan yang semula terdiam di atas perutku mulai ia gerakkan naik untuk
menjelajahi payudara besarku. Beliau mulai mengelus dan meremas
payudaraku perlahan, mencoba menenangkankan hatiku karena perzinahan
yang baru saja kami lakukan.
Kutatap lelaki tua yang ada di samping kananku, kuperhatikan dalam-dalam
raut wajah kepuasan yang ia tampilkan. Sambil terseyum pak bakri mulai
tertidur. Usapan dan remasan tangannya pada payudaraku mulai terhenti,
dan suara dengkuran lirih mulai terdengar.
Kuhirup nafas dalam-dalam sambil membisikkan sesuatu di telinganya.
“Terima kasih, pak Bakri. Terima kasih, ayah mertuaku. Terima kasih, suami baruku…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar