Rabu, 08 Januari 2014

Catatan Ardi ; Rumah Kontrakan Chapter.2

Paginya aku bangun kesiangan, untungnya aku belum mulai masuk kerja, masih menunggu panggilan dari perusahaan pak Anton. Kubuka jendela rumahku untuk melihat situasi sekeliling, sepi sungguh sepi. Kubuka pintu rumahku, pikirku biar udara segar masuk ke dalam rumahku dan aku beranjak menuju kamar mandi. Kubuka seluruh bajuku dan kusiram tubuhku dengan air dingin, uuh segarnya.

Saat aku mulai menyabuni tubuhku, terdengar suara perempuan memanggilku. Samar-samar kuperhatikan suara tersebut, kupikir suara Siska, tapi bukan. Akupun membilas sabun yang melekat di tubuhku dan bergegas mengambil handuk dan kulilitkan sekenanya di tubuhku dan segera keluar kamar mandi. Tapi aku sungguh terkejut saat aku mau keluar dengan terburu, aku menubruk seseorang di depan pintu kamar mandiku. Aku pun terjatuh menimpa orang itu.

Setelah kagetku hilang, ternyata orang itu adalah perempuan yang sangat kukenal. Ece Geulis tertindih olehku, dan yang lebih membuatku syok adalah, wajahku terbenam diantara kedua buah dadanya yang saat itu hanya memakai tank top tali yang sexy. Akupun berusaha bangkit berdiri dan membantu dia berdiri juga.

“Maaf ya, Ece, saya tidak lihat Ece di depan pintu,” pintaku.

“Iya, mas Ardi. Saya yang mestinya minta maaf karena masuk-masuk sampai kesini. Habisnya saya panggil-panggil kok gak ada sahutan, tapi pintu rumah kamu terbuka, jadi Ece masuk saja.” jawab Ece sambil tersipu.

Wuih, cantiknya Wce Geulis ini. Lama kupandangi wajah dan tubuhnya, tak terasa penisku menegang karena teringat tadi saat wajahku terbenam di dadanya. Aku pun tak menyadari kalau aku hanya pakai handuk, handuk yang kupakai tidak dapat menutupi penisku yang saat itu sedang tegang. Ece Geulis melirik penisku yang menjulang seakan ingin menembus keluar dari handukku. Wajahnya bersemu merah.

“Kenapa, Ece, koK muka Ece jadi merah gitu?” tanyaku masih belum menyadari.

Matanya memberi isyarat kepadaku untuk melihat selangkanganku, dan akupun terkaget. Saking groginya aku berusaha menutupi, tapi sialnya, mungkin karena tadi aku sempat terjatuh, maka ikatan pada handukku kendor dan saat aku berusaha menutupi burung, eh malah handuknya terlepas. Ups! terbukalah handukku dan terlihatlah penisku yang tegak seperti monas.

Ece Geulis pun menjerit melihat pemandangan seperti itu. “Aduh, Mas Ardi!! Ih, malu atuh, Mas.” sambil berusaha menutupi wajahnya dan kulihat dia menelan ludahnya.

“Ups, maaf, maaf ya, Ece. Saya gak sengaja, gara-gara Ece sih ah, saya jadi malu nih.” jawabku sambil membereskan handukku.

“Kok gara-gara saya sih, mas Ardi?” jawab Ece.

“Kalau handuknya jatuh sih bukan gara-gara Ece, tapi…”

“Tapi apa, Mas?” tanya Ece penasaran.

“Nggak ah, malu.” jawabku.

“Apaan sih?” tanya Ece semakin penasaran.

Karena dia mendesakku, akhirnya aku menjawab juga. “Tadi waktu jatuh, muka saya jatuh di susunya Ece, trus...” jawabku ragu-ragu.

“Trus apa?’ tanya Ece.

“Tadi kan Ece sempat melihat punyaku kan?”

“Nggak kok,” jawabnya berbohong.

“Gede kan?” sambungku.

“Iya, gede banget.” jawabnya cepat dan spontan. “Ups!” Ece menutup mulutnya.

Aku pun tertawa kecil melihat tingkah lucu dan wajah Ece yang memerah. “Ya itu gara-gara susu Ece, punyaku jadi gede.” tambahku.

Bibirnya tersenyum dan rona wajahnya semakin memerah. “Ih, mas Ardi genit ah,” sambil beranjak ingin pergi.

“Eits, tunggu dulu, Ce. Tadi Ece mau ngapain panggil-panggil saya? tanyaku.

“Iya, aku ada perlu sama mas Ardi, mau pinjam handphone untuk menelpon suamiku. Handphone rusak, aku belum bisa ganti dengan yang baru, bolehkan?”

“Boleh, tapi nanti. Saya anterin saja ke rumah Ece, saya mau pakai baju dulu, oke?” jawabku.

“Iya deh, aku tunggu di rumah ya, Mas.” sahutnya sambil melangkah keluar.

Akupun segera memakai baju dan celana pendekku dan segera ke rumahnya, kesempatan emas ini tak boleh kusia-siakan. Segera kuketok pintu rumahnya dan keluarlah si cantik Ece Geulis menyambutku. “Silahkan masuk, Mas.”

“Ya, terima kasih, Ce. Enak ya rumahnya, bersih. Gak seperti rumahku.” kataku.

“Ah, bisa aja. Mau minum apa, Mas?” tanya Ece.

“Kopi juga boleh,” jawabku, pikirku biar aku bisa berlama-lama di rumahnya.

“Sebentar ya, aku siapin.” diapun masuk ke dapurnya. Dari belakang kupandangi pantat perempuan ini, sungguh sangat menggairahkan, pikirku.

Tak lama dia keluar sambil membawa segelas kopi. “Silahkan, Mas, kopinya.” sambil merunduk dia menyuguhkan kopi dihadapanku, dan aku terpesona oleh dua bukit kenyal yang seakan-akan ingin melompat keluar dari balik tanktop putihnya yang dihidangkan bersama kopiku. Tapi sepertinya dia tidak menyadari kalau payudaranya sedang kuperhatikan. Dia duduk di sofa sebelah kananku dengan tenang.

“Oh iya, ini handphonenya, Ce. Katanya mau pinjam.” Kataku sambil kuberikan HP-ku kepadanya.

“Oh iya, terima kasih, Mas.” dia mengambilnya dari tanganku. Lama juga dia mengutak-utik HP-ku tapi tidak menelpon-nelpon.

“Kok belum nelpon juga, Ce?” tanyaku.

“Aku bingung pakenya, ini dikunci ya, Mas?” tanyanya.

“Oh iya, aku lupa bukain kuncinya. Sini aku bantu.” aku segera berdiri mendekatinya dan mengambil HP di tangannya, Ece Geulis tetap duduk di kursinya dan aku berada di sebelah kanan atasnya. Dari situ, aku bisa melihat dengan jelas payudara si Ece dan bra kremnya yang menyembul keluar. Wow, kesempatan ini tak boleh kusia siakan. Segera kuaktifkan camera HP-ku dan mulai menjepret isi dari tanktop Ece, sambil pura-pura seakan-akan kuncinya macet. Lumayan banyak juga kuambil gambarnya.

“Kenapa, Mas, susah juga ya?” tanyanya.

“Iya nih, tapi sekarang sudah bisa kok.” segera kuserahkan HP-ku kepadanya.

Ece Geulis pun segera menelepon suaminya, menanyakan kabarnya. Dari pembicaraan mereka yang kudengar, suami Ece dapat tugas jaga malam dan besok pagi baru bisa pulang. Wajah Ece keliatan kecewa mendengar kabar itu.

“ini, mas Ardi, terima kasih ya.” katanya.

“Sama-sama, Ce. Oh iya, HP Ece rusak apanya sih? Boleh liat nggak?” tanyaku.

“Boleh, sebentar ya, Mas.” dia masuk ke kamarnya untuk mengambil HP-nya. “Ini, mas, sering hank dan macet. Katanya kena virus.” sahutnya kemudian.

Kulihat HP itu sudah dilengkapi kamera dengan pixel yang lumayan besar dan memorinya juga besar. “Ce, sebentar kuambil laptopku. Aku punya anti virus, siapa tau bisa.” kataku.

Tak lama aku kembali lagi sambil menenteng laptopku, dan mulai kunyalakan. Pelan-pelan kukeluarkan memori card dari HP-nya dan kumasukkan ke dalam card reader, dan aku mulai memindai setiap data yang ada. Akhirnya kutemukan salah satu virus akibat penggunaan fasilitas internet di HP.

”Ini loh, Ce, penyebabnya.” kataku.

“Bisa diperbaiki?” tanyanya.

“Bisa, tapi data Ece harus dipindahkan dulu ke dalam komputerku, nanti diinstall ulang. Gimana?” tanyaku.

“Iya deh, pindahin dulu.” pintanya.

Aku segera mengcopy semua data yang ada di HP-nya dan menetralisir virus yang ada di datanya. Saat memeriksa data, tak sengaja aku menekan folder image, dan keluarlah foto-foto milik Ece. Yang membuat aku kaget adalah banyak sekali foto-foto Ece dalam keadaan telanjang dan saat berhubungan dengan suaminya. Ece menyadarinya dan terkejut.

“Mas Ardi, kok buka folder saya sih?” katanya sedikit marah.

“Waduh, sory banget, Ce. Saya gak sengaja, maaf ya.” kataku.

“Suami saya sih, nakal. Aku pikir foto-foto itu sudah dihapus olehnya, ternyata belum.” wajahnya memerah.

“Sudahlah, Ce, toh cuma saya yang melihat dan saya tidak akan menyebarkannya. Tenang aja, saya janji kok.” kataku.

“Tapi kan saya malu sama mas Ardi…” sahutnya serak.

“Kenapa mesti malu, orang fotonya cantik-cantik kok. Ece tuh cantik dan sexy tau, saya aja kalau jadi suami atau pacar Ece pasti ingin mengabadikannya dalam bentuk foto, beneran loh!” belaku.

“Masa sih… ih, apanya yang cantik dan sexy hayo? Ih, jadi malu saya.” jawab Ece.

“Sini liat, saya tunjukan kecantikan Ece.” kutunjuk salah satu gambar di laptop. “Tuh liat payudara Ece besar dan tidak turun, tapi begitu montok, dengan puting yang begitu menantang. Wajah Ece keliatan oriental, seperti orang Chinese. Perut dan pantat Ece juga masih kencang, tidak kelihatan seperti perempuan yang sudah punya anak.” tegasku.

“Ah, mas Ardi bisa aja.” ucapnya malu.

“Cuma sayang camera yang dipakai bukan kamera professional, jadi agak blur atau pecah. Kalau pakai kamera prof pasti Ece kelihatan cantik sekali, seperti bidadari turun dari langit dalam keadaan telanjang, hehehe.” candaku.

“Ih, mas Ardi nakal. Memangnya kalo pake kamera prof bisa lebih bagus hasilnya?”

“Ya iya lah. Aku punya kamera seperti itu, Ace mau coba? Sebentar aku ambilin ya,” segera aku bangkit berdiri dan berlari balik ke rumah.

“Duh, gak usah repot-repot, Mas…” sahutnya.

“Udah, gak apa-apa kok,” aku segera mengambil kameraku. Sebentar saja aku sudah kembali. “Ayo, Ce, kita coba.” ajakku.

“Dimana ya mas tempat yang bagus?” tanyanya.

“Kalau mau foto telanjang sih bagusnya di kamar, Ce, hehehe.” candaku nakal.

“Ah, gak mau. Aku malu sama mas Ardi.”

“Kenapa mesti malu, kan saya sudah lihat semuanya, hehe. Lagian kan saya professional, Ce, gak bakal macam-macam kok.”

“Beneran nih?” ucapnya malu.

“Ya iyalah, emangnya becanda, kan Ece mau bedain nanti hasilnya.” kataku.

“Oke deh, yuk kita ke kamar. Untungnya anakku sedang kutitipkan di rumah neneknya.” katanya riang.

“Oh begitu, bagus donk.”

Kami sekarang sudah ada dalam kamarnya, aku pun berpura-pura seperti prof, mulai membereskan kamarnya dan menyetelnya supaya keliatan bagus saat diambil gambar. Ece Geulis keliatan berdiri mematung, pakaiannya belum ditanggalkan. Aku mendekatinya.

“Lha kok bengong, mau foto gak? Kalo gak mau ya sudah, gak usah kita lanjutkan nih,” kataku.

“Mas Ardi, aku takut dan malu. Kalo ketahuan suamiku gimana?” tanyanya.

“Hehe, dia pasti senang liat istrinya di foto cantik sekali. Lagian jangan dikasih tau kali,” sahutku.

“Ah, mas Ardi bisa aja.”

“Ayo donk, cepet dibuka bajunya. Apa perlu aku bantuin?” sahutku.

“Huh, maunya tuh, hihi.” Ece mulai rileks dan tertawa. Dia pun mulai membuka pakaian tanktopnya dengan membelakangiku, lalu celana pendeknya. Saat dia mau membuka bra kremnya, terlihat dia kesulitan, keliatannya kancingnya macet. Aku menelan ludah melihat pemandangan itu.

“Perlu aku bantuin gak?” tanyaku.

“Boleh deh,” jawabnya, dan akupun mendekatinya. Dengan tangan bergetar, kuraih kaitan bra krem tersebut, tapi masih sulit juga.

“Wah, gak bisa dibuka nih, Ce. Gimana neh?’ tanyaku.

“Diputusin aja deh, Mas. Tarik aja biar putus. Aku memang mau ganti bra ini dengan yang baru, sering macet begini.”

“Oke deh,” akupun mengerahkan tenagaku untuk memutuskan pengaitnya. Mungkin karena tenagaku terlalu besar, kaitan terputus dan bra-nya terlempar ke lantai dengan keras. Aku kaget bukan kepalang karena payudara Ece tersentak dan bergelantung sambil bergoyang-goyang dengan indahnya. Wow, sunggug luar biasa. Ternyata melihat dari dekat seperti ini semakin membuat penisku menegang dengan dahsyatnya.

“Mas Ardi, biar adil, mas fotonya juga sambil telanjang donk.” pinta Ece.

“Ah, gak mau ah. Aku malu. Sudah, Ece aja.” jawabku pura-pura.

“Gak, aku gak mau difoto telanjang sendirian.” sahutnya sambil kedua tangannya yang kecil berusaha menutupi kedua payudaranya yang besar.

“Oke-oke,” sahutku kemudian, aku pun mulai membuka bajuku. Saat kubuka celanaku, terlihatlah torpedoku yang tegak menantang. Kulihat Ece terus memperhatikan torpedoku yang besar dan berukuran diatas rata-rata itu, kulihat dia menelan ludah.

“Mas… anunya gede ya?” katanya.

“Anunya apaan, Ce?” tanyaku pura-pura.

“Itu tuh,” sambil tangannya menunjuk ke batangku.

“Oh ini, kan ada namanya, Ce. Ini namanya kontol, hehe.” kataku.

“Ih, mas Ardi ngomongnya kotor.”

“Kotor tapi mau kan? Mau pegang, mau cium atau mau jilatin, hehe.” candaku.

“Ih, mas Ardi nakal nih.” ia berjalan mendekatiku dan tangannya mencubit dadaku.

“Kok cubitnya di dada, kenapa gak di kontolku saja?” kutangkap tangannya dan kuarahkan ke arah kontolku yang sudah mengeras tajam. Lama juga tangannya mengelus-elus kontolku. Tanganku pun mulai bergerilya menuju payudara dan pentilnya, kuremas-remas pelan kedua bukit kembar itu. Mata Ece terpejam, kulihat dalam posisi ini Ece jadi sangat cantik sekali. Jadi kameraku pun mulai bekerja.

“Kok kontol saya cuma dielus-elus aja, gak mau dicium, Ce? Gak suka ya?” tanyaku.

“Ehm.. memangnya mas Ardi mau aku isepin?” tanyanya.

“Mau donk,” siapa juga yang bisa nolak.

Perlahan dia berjongkok di depan kontolku. Ece sempat kaget karena kontolku begitu besar, mulutnya hampir tak muat. “Mas Ardi, anunya gede banget sih.” bisiknya sambil terus menjilati batang kontolku.

“Itu namanya kontol, Ce, bukan anu!”

“Iya, kontol mas Ardi gede banget,” setengah berteriak dia mengucapkannya.

“Suka ya? Sama kontol suamimu gedean mana?” tanyaku.

“aku suka kontol gede, Mas. Suamiku saja yang jadi satpam kalah besarnya, ini mah cuma bisa disamakan dengan tongkat satpam. Gak kebayang kalo masuk ke lubangku.” lanjutnya.

Saat dia mengulum dan mencium kontolku, aku mengambil foto-fotonya. Sexy sekali nih perempuan. “Berarti sekarang istrinya satpam kena sodok sama pentungan satpam donk, hehe.” candaku.

“Iya, Mas. Please, sodok aku dengan pentunganmu.”

“Mau posisi apa?” tanyaku.

“Aku mau nungging, Mas. Kelihatan sexy kalau dilihat di kaca.” katanya, memang di depan kami ada sebuah kaca besar. “Ayo, Mas!” rengeknya.

Aku pun mulai menyodok Ece yang saat itu sudah menungging, agak sulit memasukkannya karena ukuran penisku yang lumayan besar. Tapi dengan bantuan ludahku, akhirnya kutembus juga lubangnya Ece. Dengan napas tertahan, dia memintaku untuk tidak menggenjotnya dulu. Setelah lima detik, aku merasakan liangnya Ece mulai licin, dan pelan tapi pasti aku mulai menggenjotnya.

“Auw... ahh… sssh… ach... terus, mas Ardi, ya terus…” kata-katanya meracau.

“Uuh... enak sekali memekmu, Ce. Memek begini nih paling enak dientot dari belakang.” aku juga meracau keenakan.

Kira-kira ada 30 sodokan kulakukan, keliatan teriakan Ece semakin menggila. “Ah ah ah… ssssh... oh, mas Ardi, aku mau keluar... terus, Mas... entot aku yang dalem…” pintanya.

Sengaja kutahan laju sodokanku, biar dia tambah penasaran.

“Mas Ardi, ayo donk... entot lebih cepat dan dalam… aku sudah mau keluar nih.” rengeknya.

Sengaja aku berbuat lebih nakal, kutarik kontolku keluar dari memeknya. Aku mau tau reaksinya.

“Aaaah... mas Ardi, jangan dikeluarin donk kontolnya, aku sedikit lagi mau keluar nih. Please, masukin lagi.” rengeknya.

“Aku mau masukin, tapi aku mau foto-foto kamu dulu saat kamu lagi habis-habisan terangsang. Ayo, pose memelas seperti tadi, kamu berbaring di ranjangmu.” kataku.

”Oke deh, apapun asal nanti masukin lagi ya?” rengeknya.

“Iya pasti, kan kita mau dapat posisi yang bagus.” kataku.

Mulailah dia berpose di ranjang dengan wajah dan tubuh sedang mengalami horni berat. Uuh, sumpah deh, wanita akan cantik sekali saat difoto dalam keadaan begini.

Setelah puas mengambil gambar, kurebahkan dia dalam posisi teletang, kontolku yang masih tegang segera kuarahkan ke lubang memeknya. Tubuh Ece bergetar hebat saat aku kembali menusuknya. Memeknya seakan ingin mencengkramku. Akupun terus menyodok dan menyodok. Tak lama Ece berteriak, “Mas Ardi, aku keluaaaaar… uohh nikmatnyaaaa... terus entot aku, Mas… biar cairanku keluar semua…” rintihnya.

Aku terus menyodok, entah sudah berapa kali Ece orgasme, akhirnya akupun meledak, tubuhku bergetar hebat. Tadinya hendak kutarik kontolku saat spermanya mau muncrat, tapi kaki Ece menjepit pinggangku. “Sudah, masukkan saja, Mas. Aku lagi gak subur kok, gak apa-apa. Lagian aku mau merasakan semburan sperma dari kontol mas Ardi yang gede. Ternyata enak banget, hangat sekali.” rintihnya.

“Uuuuooohh... Ece, aku keluuuuaaar… rasakan pejukuuuu… ahhhh!” erangku sambil terus kugenjot kontolku di dalam memeknya, dan akhirnya akupun rubuh karena kecapekan. Sambil terengah-engah, kami berbaring telanjang bersama-sama di ranjang.

“Wow, mas Ardi luar biasa. Kontol mas enak banget deh, terasa penuh di lubangku. Memekku aja masih terasa longgar dan senut-senut.” kata Ece.

“Begitu ya, Ce... Ece cantik sekali kalau telanjang bulat seperti ini... coba aku jadi suamimu, pasti aku akan menyuruhmu tidak pakai baju bila di rumah. Uh, indahnya...” kataku sambil kuperhatikan seluruh lekuk tubuhnya.

“Ah, Mas... jangan liatin aku seperti itu dunk, aku jadi malu…” sahutnya.

Kamipun beristirahat sambil berpelukan mesra. Sampai akhirnya aku pamit mau pulang karena kurasakan lapar sekali. Sesampainya di rumah, akupun segera makan dengan lahapnya. Pikirku, aku harus menjaga staminaku karena sekarang aku harus kuat melayani dua orang wanita yang menurutku haus akan sex. Selesai makan, aku segera istirahat. Sudah dua hari ini aku bertempur dengan dua wanita yang sudah bersuami dan kurasakan tubuhku letih sekali. Tapi baru lima menit aku tertidur, aku mendapat kiriman sms dari Siska yang menanyakan aku kemana karena tadi siang dia ke tempatku tapi aku tidak ada.

Sms itu tidak kujawab, aku harus istirahat dulu, pikirku. Dan aku punya rencana akan menghilang selama tiga hari untuk membuat mereka berdua penasaran. Berpikir seperti itu, akupun tertidur dengan pulasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar