Rabu, 08 Januari 2014

Catatan Fariz ; Tetangga Yang Baik Chapter.1



Sebut saja namaku Fariz, 25 tahun, sekarang telah menjadi Guru. Bodiku seperti orang Indonesia pada umumnya, dengan tinggi 170cm dan berat 65kg. Kejadian yang aku ceritakan ini terjadi 5 tahun yang lalu yang mengakibatkan aku sangat tertarik dengan wanita yang gemuk tetapi syaratnya teteknya besar.

Waktu itu aku seorang mahasiswa salah satu universitas swasta di Solo yang tinggal di Boyolali. Karena dekat, aku tidak kost, tapi tinggal dengan orang tua. Aku mempunyai tetangga, namanya Pak Slamet, usianya 35 tahun. Aku biasa memanggilnya mas Slamet, seorang sopir truk gandeng yang mengangkut susu dari Boyolali ke Jakarta. Mas Slamet mempunyai istri yang bernama mbak Lasmi, 30 tahun, seorang ibu rumah tangga yang baik. Mbak Lasmi sangat cantik dengan kulit putih, sedikit gemuk tetapi proposional karena pantat dan teteknya sangat besar untuk ukuran... aku tidak tahu, pokoknya menantang!

Sebagai tetangga dekat, aku sering main ke rumah mbak Lasmi ketika mas Slamet ada. Aku sangat hormat kepada beliau karena aku sudah dianggap adiknya sendiri. Dan aku waktu itu tidak sedikitpun berani menghayal ngentot dengan istrinya meskipun bodi mbak Lasmi sangat menggairahkan. Dan kuakui, aku gemar sekali onani, maklum seusia itu dan aku berprinsip lebih baik onani daripada lebih dari itu.

***

Suatu malam, karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mencari teman ngobrol. Setelah muter-muter, tidak ada yang nongol. Aku berpikir, ke rumah mas Slamet saja karena beliau tidak bekerja, mungkin dapat teman ngobrol, untung-untung dapat makan minum gratis.

Pada waktu sampai di samping rumah mas Slamet, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi. Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja.

Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ternyata itu suara orang yang lagi bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur mas Slamet dan istrinya.

Aku lebih mendekat lagi, suara dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dari goyangan tempat tidur terdengar lebih jelas. "Ssshh... hhemm... uughh... ugghh...” terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu.

Jelas itu suara mbak Lasmi yang sedang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis mas Slamet sedang mengocok liang vagina mbak Lasmi yang tembem. Aduh, darahku langsung naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan mas Slamet menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi mbak Lasmi yang cantik dan bahenol itu.

"Oohh... sshh... bune, aku mau keluar! Ssshh... sshh..." terdengar suara mas Slamet yang tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok menjadi semakin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya mas Slamet sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina mbak Lasmi.

Selesailah sudah persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi. Akhirnya aku kembali ke rumah, ingin tidur tetapi ternyata sulit. Aku coba onani, bayangan yang keluar adalah mbak Lasmi. Aku malam itu membayangkan ngentot mbak Lasmi, malam itu onaniku begitu nikmat.

***

Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya, kalau mas slamet pas ada di rumah. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektif yang mengamati kegiatan mereka di sore hari.

Biasanya kalau mas Slamet tidak kerja, pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur, mungkin mbak Lasmi baru haid.

Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih mbak Lasmi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh mas Slamet), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara mas Slamet dan khususnya suara mbak Lasmi yang keenakan disetubuhi suaminya.

***

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu mbak Lasmi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri mas Slamet itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi, sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena mbak Lasmi istri orang. Kalau aku berani menggoda mbak Lasmi, pasti jadi masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku.

Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh mbak Lasmi...!!!

***

Pada suatu hari, aku mendengar mas Slamet ditahan di Polresta Solo karena kecelakaan yang mengakibatkan korbannya meninggal, sehingga mas Slamet harus bertanggung jawab meskipun dia tidak bersalah, mungkin karena dia mengendarai kendaraan lebih besar. Sebagai tetangga dan masih bujangan, aku langsung diajak mbak Lasmi untuk menengok suaminya di Polresta Solo. Dengan ikhlas aku mengantar mbak Lasmi dengan motornya karena beliau sedang kesusahan. Dan yang penting, aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengannya.

Hari itu aku terharu melihat mereka saling menangis meratapi nasib sial mas Slamet. Dalam perjalanan pulang, mbak Lasmi tetap sesenggukan menangis. Aku hanya bisa diam saja. Karena kacau pikirannya, mbak Lasmi membonceng seperti ketika dibonceng suaminya, tanggannya melingkar di pinggangku, otomatis teteknya yang besar menekan kuat ke pundakku, tapi tidak aku rasakan. Jujur, aku hari itu tidak terangsang karena akupun turut bersedih.

***

Dua hari aku sibuk kuliah dengan tugas yang menumpuk. Begitu tugas selesai, aku setelah pulang kuliah pingin tahu kabar mas Slamet karena kebetulan besok libur. Aku sambangi rumah mbak Lasmi. Aku ketuk pintu rumahnya.

”Permisi, mbak Lasmi!!!” kataku.

”Ya, sebentar. Siapa ya?“ teriak mbak Lasmi, kedengaranya dari kamar mandi.

”Saya Fariz, mbak!” kataku.

”Masuk dulu, Riz!” teriak mbak Lasmi karena aku memang sudah dianggap adiknya sendiri.

Aku masuk dan duduk di meja tamu sambil membaca majalah yang ada di meja. Lagi asik membaca, mbak Lasmi menegur. ”Kebetulan, Riz...”

Aku kaget, dan lebih kaget lagi saat melihat mbak Lasmi yang berdiri di depan pintu hanya dengan menggunakan handuk besar tetapi tetap tidak bisa menutupi seluruh tubuhnya yang montok, paha dan sebagian teteknya kelihatan. Aku tertegun.

”A-ada apa, mbak?“ jawabku gelagapan tanpa berkedip.

Mbak Lasmi hanya tersenyum, mungkin menyadari kekagetanku dan padanganku yang penuh nafsu abg. ”Maaf ngagetin, mbak ganti baju dulu aja.” katanya sambil masuk ke dalam kamarnya.

Aku tidak berkedip memandang pahanya. Otomatis rudalku berdiri tegak. Pintu kamar ditutup, tapi aku masih bengong memandanginya.

Tak lama, mbak Lasmi keluar dari kamar. Ia kini mengenakan pakaian muslimah, baju panjang dan jilbab lebar menutupi bentuk tubuhnya yang sempurna, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kemontokannya. Mbak Lasmi duduk di depanku sambil ngomong, “Maaf, tadi bikin kami gelagapan. Mbak nggak sadar kalau belum pakai baju, karena mbak mau ajak kamu ke rumah manager pabrik di Solo Baru. Bisa nggak? Untuk ngurus mas Slamet supaya cepat bebas.”

”Ok, mbak. Untuk mbak Lasmi yang cantik, apapun aku siap laksanakan.” kataku tanpa berpikir panjang.

”Oo, sekarang adikku mulai bisa ngerayu ya?” katanya sambil ketawa.

***

Akhirnya kita berangkat ke Solo Baru. Setelah ketemu dengan managernya, hasilnya sangat memuaskan. Perusahaan akan mengurus penahanan mas Slamet, maksimal seminggu sudah selesai.

Sehabis Isya, aku bersama mbak Lasmi pulang. Hati mbak Lasmi kelihatan senang banget. Dalam perjalanan, kami ngobrol dan mbak Lasmi minta mampir di bebek goreng Wong Solountuk makan dulu, katanya. Kami berhenti di warung bebek goreng, kita cari yang lesehan.

“Riz, kami mau dada apa paha?” kata mbak Lasmi sambil memegang dada dan pahanya yang montok.

“Ah, a-anu, mbak... dada, mbak!“ kataku gelagapan karena membayangkan dada mbak Lasmi yang membusung indah.

Setelah pesanan diserahkan ke pelayan, kita ngobrol. ”Kamu itu tadi kok jawabnya gelagapan... kaya orang bingung, Riz?“ tanya mbak Lasmi.

“Maksud mbak Lasmi gimana?“ tanyaku balik.

“Tadi lho, ditanya paha apa dada kok bingung?” tanya mbak Lasmi lagi.

“Gimana ya, mbak, ngomongnya? Lha tanya paha, pegang paha. Ngomong dada, pegang dada. Lha kalau jerohan, pegang apa ya, mbak?” jawabku asal-asalan

“Hahaha... kamu ada-ada saja. Gimana ya, nanti di rumah tak jelasin!“ kata mbak Lasmi memancing.

Kami mulai mengobrol, mengenai masalah Mas slamet. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekati mbak Lasmi.

"Mbak, maaf ya... ngomong-ngomong, mbak Lasmi kan sudah berkeluarga sekitar 3 tahun, kok belum diberi momongan ya?" kataku hati-hati.

"Ya itulah, Riz. Kami kan hanya menjalani. Barangkali Tuhan belum mengizinkan." jawab mbak Lasmi.

"Tapi, mbak, anu… itu, mbak... anuu... bikinnya jalan terus to?" godaku.

"Ooh... apa?! Oh, kalau itu sih iya, Riz." jawab mbak Lasmi agak kikuk.

Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minimal 2 kali bersetubuh. Terbayang kembali desahan mbak Lasmi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.

"Tapi, kok belum berhasil juga ya, mbak?" lanjutku.

"Ya itulah, tapi kami tetap berusaha terus kok. Ngomong-ngomong, cewek kamu kok nggak pernah diajak pulang?" kata mbak Lasmi.

“Saya nggak punya cewek, mbak. Nggak ada yang mau.“ jawabku.

“Mosok cowok cakep gini nggak ada yang naksir, mungkin kamu jual mahal?“ kata mbak Lasmi.

"Eh, benar nih, mbak, aku cakep? Ah kebetulan, tolong carikan aku, mbak. Tolong carikan yang kayak mbak Lasmi ini lho," kataku menggodanya.

"Lho, kok hanya kayak aku? Yang lain yang lebih cakep kan banyak! Aku kan sudah tua, jelek lagi." katanya sambil ketawa.

"Eh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak mbak Lasmi dong. Benar nih. Soalnya begini, mbak, tapi... eeh, nanti mbak Lasmi marah sama aku. Nggak usah aku katakan aja deh." kubuat mbak Lasmi penasaran.

"Emangnya kenapa sih?" mbak Lasmi memandangku penuh tanda tanya.

"Tapi janji nggak marah lho..." kataku memancing.

Dia mengangguk kecil.

"Anu, mbak... tapi janji tidak marah lho ya?"

Dia mengangguk lagi.

"Mbak Lasmi, terus terang, aku terobsesi punya istri seperti mbak. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan mbak Lasmi. Aku menyadari ini nggak betul. Mbak Lasmi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduh, maaf, maaf sekali, mbak. Aku sudah kurang ajar sekali!" kataku menghiba.

Mbak Lasmi melongo, memandangiku. Sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia. Dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.

Sampai selesai, kami jadi berdiam-diaman. Kami lalu pulang. Dalam perjalanan pulang, aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Jadi sambil menahan nafas, kucoba memegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang kemudi. Di luar dugaan, mbak Lasmi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami, telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang.

Mendadak ada sepeda motor menyalib motorku. Aku kaget.

"Awas! hati-hati!" mbak Lasmi menjerit.

"Aduh, nyalip kok nekad amat sih?" gerutuku.

"Makanya, kalau naik motor jangan macam-macam." kata mbak Lasmi.

Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah.

”Besok kamu kuliah tidak, Riz?“ tanya mbak Lasmi.

“Tidak, mbak. Kalaupun ke kampus, hanya cuci mata. Mau kemana, mbak? Aku siap mengantar.” jawabku penuh semangat.

“Nggak kemana-mana, cuma mbak perlu terima kasih ke kamu sehingga urusan mbak bisa ringan. Ada surprise untukmu!“ kata mbak Lasmi.

”Nggak usah, mbak. Aku tulus membantu, mbak. Kita kan tetangga.” jawabku.

“Aku percaya itu, tapi aku pengin merayakan keberhasilan ini sehingga mas Slamet segera bebas.” sambung mbak Lasmi.

“Ok, mbak, trus surprisenya apa?” tanyaku kaya orang bloon.

“Haha.. yang namanya surprise yang nggak dikasih tahu dong.” sahut mbak Lasmi.

“Ok, mbak, asal jangan dikasih uang, aku tak mau. Terus kapan?” tanyaku berharap.

“Kalau uang aku jelas tidak punya. Gini aja, setelah ini kamu pulang. Nanti jam sembilan, kamu ke rumah lewat samping. Jangan ada yang lihat, seperti biasa kamu main ke rumah. Pakai baju yang longgar, kalau perlu pakai sarung.“ jawab mbak Lasmi kaya sutradara.

“Kok suruh pakai sarung, apa saya disuruh jadi satpam di rumah mbak?” jawabku ngaco.

“Nanti tak kasih ayam spesial, kan kalau pakai sarung kekenyangan enak... kalau perlu tanpa daleman, haha...” kata mbak Lasmi semakin bikin penasaran.

“Ok deh, mbak, bikin tambah penasaran ayamnya kayak apa?” jawabku.

“Ayam yang tidak akan kamu lupakan selamanya!“ kata mbak Lasmi.

Tak terasa, kita sudah sampai di rumah. Aku antar mbak Lasmi sampai pintu masuk, lalu aku pamit pulang.

“Tak tunggu lho, jam sembilan, lewat pintu samping.” kata mbak Lasmi sebelum turun.

Aku hanya mengangguk penuh tanda tanya, mbak Lasmi hanya tersenyum penuh arti.

Sampai di rumah, bapak dan ibuku sedang lihat TV. “Gimana, Riz, mas Slamet?” tanya bapakku.

“Anu, pak, bossnya yang tanggung jawab. Mungkin seminggu lagi keluar.” kataku sambil masuk kamar.

Aku malah bingung mau ngapain. Nanti mau dikasih apa sama mbak Lasmi? Aku hanya bisa tiduran di kamarku. Mending mandi saja dari pada harap-harap cemas. Setelah mandi, sesuai kata mbak Lasmi, aku pakai kaos oblong dan kolor. Jam sembilan terasa begitu lama, aku akhirnya ikut nonton TV sama bapak ibu. Jam setengah sembilan, bapak ibu masuk kamar. Kelihatannya payah, mungkin karena kerja seharian. Seperempat jam kemudian, kelihatannya mereka sudah tertidur. Aku semakin bingung, waktu kok tambah lama ya.

Jam sembilan kurang, aku masuk kamar. Kukunci semua pintu. Aku berpikir, akan kuturuti semua perintah mbak Lasmi apapun yang terjadi. Cepat kuganti kolorku dengan sarung, tanpa daleman apapun. Aku lewat jendela samping kamarku karena rumahku dengan rumah mbak Lasmi bersebelahan. Aku lihat kondisi sekitar, kelihatannya sepi. Aku berjalan ke rumah mbak Lasmi dengan hati-hati. Sampai di depan rumah mbak Lasmi, dengan ragu-ragu aku lewat pintu samping. Pintu itu masih terbuka sedikit, aku dorong pelan-pelan.

“Tutup pintunya, Riz.” perintah mbak Lasmi mengagetkanku.

“Ya, mbak.” jawabku.

Aku masuk ke ruang tengah mengikuti mbak Lasmi, tanpa berani melihatnya sedikitpun. Setelah sampai di ruang tengah, lampu dinyalakan. Aku duduk di kursi dekat TV. Aku tidak berani ngomong apa-apa, suasana terasa kikuk. Kulihat mbak Lasmi memakai kain panjang dan kerudung dengan dandanan agak mencolok.

“Ayo kita rayakan keberhasilan tadi, kamu harus mengikuti perintahku.” kata mbak Lasmi. Aku mengangguk agak ragu. Mbak Lasmi menyadari itu. “Rileks aja, Riz. Tidak kusakiti kok, katanya mau ayam spesial?”

Aku mengangguk.

“Kamu sekarang duduk, nanti hanya boleh bergerak atau berbicara ketika kutanya.” sambung mbak Lasmi.

“OK, siap, boss!” jawabku mantap.

“Lha gitu itu namanya lelaki sejati,” kata mbak Lasmi.

Aku duduk, mbak Lasmi mengambil tali dan tanganku diikat di kursi. Aku pasrah saja. “Ok, sekarang terimalah pertunjukanku!” teriak mbak Lasmi sambil masuk ke kamarnya.

Aku bingung, jantungku berdetak sangat kencang. Mungkin kalau dilihat, aku kaya orang paling bloon di dunia. Tak lama, mbak Lasmi keluar dari kamarnya, masih pakai pakaian lengkap tetapi bawa tulisan : “Ayam Special ektra HOT!!!” sambil berjalan kaya pelayan genit.

Setelah berlenggak-lenggok, mbak Lasmi berdiri di depanku sambil berkata, “Mau ayam, Riz?”

Aku hanya mengangguk.

Mbak Lasmi kemudian mundur sambil berkata, “Nikmati cakar special...!!!“ sambil menyingkap kain bawahnya. Dia masih menggunakan celana sedengkul, kakinya yang putih tanpa cacat didekatkan sambil berbicara, “Selamat menikmati!”

Kakinya benar-benar putih, aku hanya bisa mengangguk-angguk pasrah.

“Kurang kenyang, Riz? Nikmati sajian berikutnya, kepala spesial...” kata mbak Lasmi sambil melepas kerudungnya, rambutnya yang panjang terurai. menambah kecantikannya. Dia membelai rambutnya, memperlihatkan tengkuknya yang putih sambil bergoyang mendekatiku. “Gimana, Riz, mau lagi?“ kata mbak Lasmi.

Aku hanya menjawab, ”Ya,” dengan penuh nafsu. Terasa rudalku mulai bergerak. Aku berpikir, ini tujuannya pakai sarung...

“Ok, Riz, karena kamu mau, jadi kukasih lagi, sayap tanpa rambut spesial.“ kata mbak Lasmi sambil membelakangiku.

Aku melihat tanpa sanggup berkedip. Dari belakang, kulihat tangan mbak Lasmi mulai melepas kancing bajunya dan melepas salah satu dari tangan kanannya sambil menengok dan menjulurkan lidah ke arahku, kemudian disusul lengan kirinya dan melemparkan bajunya begitu saja, sehingga tali branya kelihatan dan punggungnya yang putih dan mulus terlihat dengan jelas. Mbak Lasmi berjalan mundur mendekatiku semakin dekat dan hampir menabrakku.

Aku kaget, dan langsung bilang. “Awas, mbak...!!!“

“Takut ketabrak, ya? Apa mbak dikira truk gandeng?“ kata mbak Lasmi. “Ini, Riz, nikmati sayap tanpa rambut!” lanjutnya sambil mengangkat kedua tangannya, mendekatkan ke arah kepalaku. Aku hanya bisa memandangi dan mencium aroma tubuh mbak Lasmi yang wangi.

“Gimana, Riz, mau yang lain atau sudah kenyang?” tanyanya.

”Belum, mbak. Ayam seperti ini nggak bikin kenyang!” jawabku sambil menahan nafas birahi.

“Memang tidak bikin kenyang, tapi bikin kentang.“ kata mbak Lasmi sambil menunjuk sarungku yang menonjol. Aku sedikit malu, tapi kupikir wajar saja.

“Kalau belum, nih aku kasih paha putih dan gurih” kata mbak Lasmi sambil berjalan menjauhiku. Dengan gerakan erotis, dia melepas celana pendeknya dan melemparnya entah kemana. Mataku hanya tertuju pada pahanya yang putih dan mulus. Mbak Lasmi berjalan berlenggok-lenggok layaknya peragawati, dengan hanya memakai bra dan celana dalam saja.

Aku tidak bisa berkedip dan berpikir, body mbak Lasmi bener-bener sintal dan bahenol. Aku pandangi dari atas sampai bawah tubuh yang mulus dan menggiurkan itu. Mbak Lasmi yang mengetahuinya berkata, “Riz, kalau ditawari paha, yang dilihat paha dong... mosok matanya kemana mana,” sindirnya halus.

“Emm, nggak bisa, mbak. Soalnya yang lain juga menggoda, besar dan mantap!” jawabku jujur, tapi aku ikuti perintah mbak Lasmi, kufokuskan pandanganku melihat pahanya yang besar, yang putih dan bersih.

Mbak Lasmi berjalan mendekatiku, kaki paha kanannya didekatkan ke mukaku. Setelah puas kupandangi, kemudian ganti paha kirinya yang didekatkan, sambil berkata, “Gimana, Riz, pahaku. Bagus nggak?”

“Mantap, mbak. Aku jadi pengen menjilatnya.” jawabku penuh nafsu, ingin sekali menyentuhnya.

“Sorry, Riz, belum saatnya. Nikmati dulu ini.” kata mbak Lasmi sambil menari dengan erotis. Aku hanya diam, tapi rudalku yang masih tertutup sarung sudah berdiri tegak seperti menara.

“Sekarang terimalah, dada montok rasa susu!!!” kata mbak Lasmi sambil berjalan mundur satu langkah. Tangan kirinya melingkar ke belakang untuk melepas kait behanya. Sekali tarik, lepaslah beha mungil itu. Isinya yang dari ditahan, meloncat keluar dengan indahnya, terlempar tepat ke mukaku.

“Ini yang kau suka kan, Riz?” mbak Lasmi menggoyang-goyangkan teteknya, menampar-nampar hidung dan pipiku. Benda itu benar benar besar, juga sangat empuk. Rasanya juga hangat. Aku jadi teringat film BF yang sering aku tonton. Bentuk dan besarnya sama, tapi ini asli, tanpa silicon.

“Riz, mau minum susu ini?” tanya mbak Lasmi sambil menyodorkan teteknya yang bulat besar ke mulutku. Benda itu terlihat belum menggantung, dengan puting sebesar ibu jari yang mengacung tegak ke depan, berwarna coklat kemerahan, benar-benar mantab.

“Emm, m-mau, mbak.” jawabku menahan nafsu.

“Lihatlah wadahnya dulu, gimana pendapatmu?” kata mbak Lasmi. Ia mendekatkan teteknya ke arahku. Begitu dekatnya hingga bisa kulihat urat-urat halus kehijauan yang tumbuh merata di seputar tonjolan bukitnya.

“Mantap, mbak… aku jadi pengen banget, mbak.” kataku dengan mata tak berkedip, tak ingin melewatkan pemandangan indah itu barang sedetik pun. Aku ingin menjilat atau meremasnya, tapi apa daya, tanganku terbelenggu di kursi. Kelihatannya mbak Lasmi pengin mengujiku.

“Tetek mbak gede banget, branya ukuran berapa, mbak?” tanyaku.

“Emangnya kamu mau ngasih?” jawabnya sambil mengelus-elus permukaan teteknya yang halus dan mulus.

“Enggak, mbak, aku lebih suka isinya bra. Tapi aku pengin tahu, mbak.” jawabku.

Mbak Lasmi mengambil branya dan memperlihatkan ukurannya. Dia berlagak kaya guru, menerangkan sambil memegang tetek dan branya. “Ini lho, Riz, ukurannya 38D. Karena mbak besar, maka lingkar dadanya juga besar, 38. Sedangkan D itu menunjukkan cup atau mangkoknya. Karena tetek mbak super montok, maka pakai D. Gimana, Riz, jelas?” tanyanya.

“Jelas, mbak. Jelas banget. Besok tak cari istri yang ukurannya kaya mbak Lasmi. Sudah cantik, bahenol lagi.” pujiku.

Mbak Lasmi tertawa. “Aku jadi tersanjung, Riz.” jawabnya dengan mimik muka bangga. Dia masih memain-mainkan teteknya, meremas-remasnya pelan sambil memilin-milin pentilnya, membuat benda itu semakin kelihatan besar dan menonjol, mungkin karena menahan nafsu juga.

“Riz, mbak mau kasih tahu semua milik mbak. Kamu orang yang kedua setelah mas Slamet. Kamu mau lihat memekku?” bisik mbak Lasmi dekat di telingaku. Suaranya parau.

Aku mengangguk. “Please, mbak. Aku sangat pengin melihat memek mbak!” jawabku penuh harap.

Mbak Lasmi mundur, kemudian mengambil kursi dan melepas satu-satunya kain penutup yang masih menempel di tubuhnya. Dia lalu mengangkang, membuka kedua kakinya lebar-lebar. Terpampanglah memeknya yang penuh dengan jembut, tapi rapi. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihatnya, sambil berkata, “Hutannya kok lebat banget, mbak?”

“Riz, meskipun lebat, tapi memek mbak tembem. Ini yang bikin laki-laki ketagihan.” sahut mbak Lasmi sambil menyibakkan jembutnya.

Kulihat belahan vaginanya tanpa berkedip, tampak masih sempit dan memerah. Rudalku langsung berontak ingin menerobos sarungku. Mbak Lasmi yang mengetahuinya kemudian berdiri, ia mendekatkan memeknya yang berbau sirih itu ke mukaku. Kucium aromanya yang memabukkan dengan penuh nafsu.

“Gimana baunya, Riz, harum?“ tanya mbak Lasmi.

“Wangi, mbak.” jawabku. ”Tapi agak basah, mbak pipis ya?” candaku.

“Kamu bisa aja, Riz.” mbak Lasmi tertawa, membuat teteknya yang besar berguncang-guncang indah karenanya. ”Karena kamu baru pertama kali, akan mbak jelaskan.“ katanya sambil kembali mengangkang.

Dia menunjuk-nunjuk memeknya, seperti guru biologi saja. ”Ini yang dinamakan memek, Riz, atau vagina kalau kata orang kota. Ini benda kenikmatan bagi para pria.” jelas mbak Lasmi sambil meraba memeknya.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Yang kecil ini disebut itil, ini kelemahan wanita. Kalau disentuh atau dijilat, semua wanita akan kelabakan dibuatnya.” mbak Lasmi menunjuk bulatan mungil kemerahan sebesar biji kacang yang berada di bagian atas kemaluannya.

”Yang bawah ini, lubang tempat sarang burung.” mbak Lasmi membuka memeknya makin lebar, menunjukkan lubangnya yang masih kelihatan sempit dan mungil. ”Baru satu burung yang bersangkar di lubangku ini.” tambahnya.

”Punya mas Slamet ya, mbak?” tebakku.

Mbak Lasmi mengangguk. ”Aku sebenarnya pengin yang lain, Riz, yang lebih besar dan lebih panjang dari punya mas Slamet. Aku pengen dipuaskan.” katanya sambil memegang itilnya dan memasukan jarinya ke lubang memeknya berkali-kali.

“Mbak, kok jarinya basah, mbak?“ tanyaku memancing, mataku tak berkedip menatap tingkahnya.

“Iya, Riz. Mbak akui, mbak terangsang sekali sekarang, jadi memek mbak agak becek. Coba kamu cium ini.” dengan agak malu malu, mbak Lasmi mengoleskan jarinya di hidungku.

Aku kaget mencium aroma surgawi itu. “M-mbak, aku pingin ngentot, mbak!” kataku tanpa bisa dicegah lagi. ”Ngentot seperti mas Slamet.” seruku penuh nafsu.

“Jangan, Riz, belum saatnya.” jawab mbak Lasmi bijaksana meskipun aku yakin dia juga menginginkannya.

”Emang kenapa, mbak?” aku tidak terima dengan penolakannya. Sudah menggodaku seperti ini, dia malah nggak mau kuajak ngentot. Maunya apa sih?

Bukannya menjawab, mbak Lasmi malah mengelus-elus tonjolan burungku dari luar sarung. “Riz, kasihan ini adikmu, dari tadi berdiri terus. Mbak pingin lihat, boleh?” pintanya.

Aku hanya mengangguk.

Dengan cepat, mbak Lasmi segera menarik sarungku. Kontolku yang sudah menegang tak karuan, langsung meloncat keluar, berdiri tegak bak tugu monas. “Ehm, gede juga kontolmu, Riz.” gumanya kagum.

”Gede mana dari punya mas Slamet, mbak?” aku bertanya.

”Lebih gede punyamu. Juga lebih panjang.” dengan tangan gemetar, mbak Lasmi memegangnya. ”Lebih kaku juga. Terasa keras banget, Riz.” bisiknya parau. Matanya yang bulat tak berkedip menatap batang penisku, terlihat sangat terpesona dan mengaguminya.

“Berarti boleh dong bersangkar di lubang mbak Lasmi?” kataku memancing.

“Jangan, kapan-kapan aja. Nggak sekarang. Biar aku kocok aja. Mbak yakin, anak seusiamu, pasti sering onani. Bener kan?” kata mbak Lasmi sambil mulai membelai dan meremas penisku pelan.

Aku hanya bisa mengangguk dan menikmati sensasi ini. “Mbak.. mbak.. oughhh...” desisku keenakan.

”Kalau onani, siapa yang biasanya kamu bayangkan?” tanya mbak Lasmi sambil tetap memainkan kontolku. Dia terlihat senang sekali, seperti mendapat mainan baru.

”Mbak. Mbak Lasmi yang aku bayangkan!” gumamku terus terang. Aku tidak perlu malu-malu lagi di depannya.

”Ah, benarkah?” dia tampak gembira mendengar jawabanku. Kocokannya menjadi semakin cepat dan nikmat.

Aku hanya bisa bergerak-gerak menggelinjang tanpa perlawanan karena aku terikat, tidak bisa membalasnya barang sedikit pun. Padahal aku sangat ingin sekali menjamah dan membelai tubuh mulusnya itu. Terutama payudaranya, ingin aku meremas dan memijit-mijitnya dengan kedua tanganku, merasakan betapa empuk dan kenyal bulatannya. Putingnya yang menonjol kemerahan, akan kujilat dan kuhisap-hisap dengan mulutku. Ughh, tapi sayang aku tak bisa.

“Kontol seperti ini nih yang bikin wanita ketagihan.” kata mbak Lasmi sambil mengocok batang kontolku semakin cepat.

Aku jadi makin tak tahan. Terasa ada sesuatu yang mau meledak keluar dari dalam sana. “M-mbak, aku mau keluar.“ teriakku tertahan.

Mbak Lasmi bukannya berhenti, malah mengocok lebih cepat. Membuatku makin tak bisa menahan diri. Tak sampai tiga detik, aku pun meronta. ”M-mbak, aku keluar! ARRGHHHHH...!!!” Kurasakan sesuatu yang hangat dan nikmat menyembur kencang dari lubang kontolku. Spermaku yang kental berhamburan membasahi muka dan rambut mbak Lasmi.

Setelah semburan itu mereda, aku pun lemas. Beban yang aku tahan dari tadi, lepas lah sudah. Tubuhku terasa lelah, tapi sangat puas. Kurasakan ada sesuatu yang basah menyentuh ujung kontolku. Dengan nafas masih terengah-engah, aku mengintipnya. Ternyata mbak Lasmi yang tengah membersihkan sisa-sisa lelehan spermaku dengan menjilatinya lembut. Aku hanya diam saja, menikmatinya.

Mbak Lasmi terus mengulum dan mengemutnya, menampung semua cairanku di dalam mulutnya, termasuk juga sperma yang menempel di muka dan rambutnya, lalu menelan semuanya dalam sekali teguk. Dia tidak menyadari kalau kuperhatikan.

Setelah sadar, dengan agak malu mbak Lasmi berkata. ”Maaf, Riz, keterusan. Sperma perjaka, bagus buat obat awet muda.” terangnya.

“Nggak jijik, mbak?“ tanyaku.

“Justru ini yang bikin ketagihan.” jawabnya sambil tetap mengelus kontolku. Merasakan itu, kontolku yang sudah lemas, langsung berdiri kembali. Mbak Lasmi kelihatan kaget saat melihatnya. ”Ini kontol kok nggak ada matinya ya?” katanya sambil nyengir.

Tanpa membuang waktu, dia kembali menjilatinya. Dengan tangan kanannya, mbak Lasmi mengocok batangku. Sedang tangan kirinya, sibuk mengobok-obok memeknya. Aku pingin menjamah tubuh mbak Lasmi, membantunya bermasturbasi, tapi aku masih terkekang. Akhirnya aku hanya bisa menikmati surprisenya sambil merem melek.

Tidak beberapa lama, aku kembali orgasme. Sambil menikmati sepongan mbak Lasmi, aku berteriak. ”Mbak, aku keluar! Aahhhh...!” rasanya nikmat, tapi tidak senikmat tadi. Spermaku yang muncrat juga tidak sebanyak tadi, dan kali ini agak sedikit encer.

Dengan sengaja, mbak Lasmi mengeluarkan kontolku dari mulutnya, sehingga spermaku kembali bebas berhamburan mengenai wajah dan teteknya. Mbak Lasmi menikmati dengan meratakan spermaku ke seluruh bulatan payudaranya, sementara tangan satunya tetap mengobok-obok lubang memeknya. Aku menikmati pertunjukan itu dengan mata sayu. Badanku benar-benar lemas. Aku kelelahan.

Tidak berapa lama, mbak Lasmi berdiri di atasku. Memeknya tepat berada di atas batang kontolku. Sambil tetap menusuk memeknya dengan jari, dia merintih, ”Aahhh... aku keluar, Riz… ahh… ahh...”

Tubuhnya berguncang-guncang saat cairan kenikmatannya menyembur dengan deras, mengguyur kontolku hingga basah kuyup. Rupanya begitu hebat orgasme yang diterima oleh istri tetanggaku itu. Setelahnya, mbak Lasmi duduk di kursi di depanku sambil mengatur nafasnya.

Beberapa menit kita berdiam diri, menikmati apa yang telah kita perbuat.

“Riz, terima kasih ya, mbak bisa puas meskipun tanpa kita ngentot.” kata mbak Lasmi. Dia tersenyum manis sekali.

“Sama-sama, mbak. Ini tidak akan bisa kulupakan. Ini pengalaman paling menarik seumur hidupku.” sahutku.

“Maaf ya, kamu seperti kayak tahanan. Tapi ini supaya kita bisa control diri.” kata mbak Lasmi.

“Nggak masalah, mbak, yang penting enak banget ayam spesialnya. Hahaha...” candaku.

“Jangan minta yang lebih dari ini ya?” pintanya.

Aku mengangguk. ”Iya, mbak. Gini aja sudah enak kok.”

”Sekarang kamu pulang. Tapi jangan sekali-kali sentuh aku kalau talimu aku lepas, atau tidak ada lagi acara ayam spesial seperti ini lagi!!!” kata mbak Lasmi, mengancam.

“Ok, mbak. Kutunggu pelajaran selanjutnya dari mbak.” sahutku sambil mengangguk.

Mbak Lasmi kemudian melepas tali yang mengikatku. Karena sudah janji, lagian aku juga sudah sangat lelah, meski saat itu mbak Lasmi masih telanjang, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Malah, dengan langkah gontai, aku segera merapikan pakaianku. “Mbak, aku pulang dulu ya.” pamitku setelah kukenakan kembali sarung dan bajuku.

“Iya, hati-hati ya, jangan sampai ada yang nglihat.” pesan mbak Lasmi di depan pintu.

“Ok, mbak. Kalau perlu apa-apa, bilang ke aku ya, aku ikhlas bantu mbak. Syukur-syukur kalau dapat hadiah lagi, hahaha...“ candaku.

“Maunya,” mbak Lasmi memencet hidungku. ”Sana, aku muak lihat kamu…” sambungnya sambil mendorongku.

“Muak? Memang kalau muak itu bisa bikin memek muntah ya?” kataku sambil ngacir meninggalkan rumah mbak Lasmi. Dengan tubuh masih bugil, istri mas Slamet melepas kepergianku.
.
Dengan hati-hati, aku masuk ke rumah lewat jendela kamarku. Kulihat jam di dinding, sudah pukul 12 malam. Berarti aku tadi main dengan mbak Lasmi hampir tiga jam. Dengan perasaan puas, aku rebahkan tubuh lelahku di kasur. Masih terbayang aroma memek mbak Lasmi, aku jatuh tertidur sampai pagi.

Bersambung ke Hadiah Kedua…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar