Chapter 1: Pembersihan Rumah
Bagi
Hendarto Wibowo, pengusaha berusia 40 tahun, unsur klenik merupakan hal
yang dapat diandalkan menuju kesuksesan hidup. Untuk mengelola bisnis
pariwisata dan perhotelan yang dimilikinya, sudah puluhan tahun ini
Hendarto menggunakan jasa paranormal. Tak dinyana, paranormal
pribadinya justru menikmati sensasi seksual bersama istrinya.
Siang
itu Hendarto membawa mbah Bromo, paranormal berusia 60 tahun, untuk
membersihkan rumahnya dari kemungkinan gangguan pesaing bisnisnya.
Sudah
tiga tahun ini ritual bersih rumah dilakukan Mbah Bromo tiap enam bulan
sekali di rumah Hendarto. Prosesinya antara lain memercik air bunga ke
tiap sudut ruangan di dalam rumah Hendarto. Biasanya dilakukan sejak
siang hari hingga menjelang malam.
“Maaf
mbah mungkin kali ini saya tidak bisa mengikuti ritual ini sampai
selesai, karena saya harus keluar kota untuk kepentingan perusahaan.
Tapi istri saya akan tetap di sini membantu mbah sampai ritual selesai,”
kata Hendarto di tengah jalannya prosesi ritual.
“Oh
begitu. Ya ndak apa pak Hen, ditinggal saja biar saya selesaikan tugas
saya. Lagi pula pembersihan di ruang tamu dan kamar kerja pak Hen sudah
selesai, nanti biar di ruangan lainnya saya teruskan sendiri. Ndak usah
suruh nyonya membantu, biar saya kerjakan sendiri,” kata mbah Bromo.
“Eh.. jangan mbah, biar istri saya membantu ya,” kata Hendarto lagi. Ia kemudian memanggil Irma, istrinya di ruang keluarga.
Irma
berusia 30 tahun, berwajah ayu, kulit putih, dan tubuhnya sintal.
Selama melakukan ritual di rumah Hendarto, mbah Bromo memang belum perah
melihat Irma dan dua anak Hendarto. Setiap ritual dilakukan rumah
memang harus dalam keadaan kosong penghuni, kecuali satu orang anggota
keluarga yang mendampingi mbah Bromo. Biasanya Hendarto menitipkan istri
dan anaknya ke rumah mertuanya.
“Ini
kenalkan mbah.. ini Irma istri saya. Mama, kenalkan ini mbah Bromo yang
pernah papa ceritakan,” kata Hendarto begitu Irma tiba di ruang tamu.
Keduanya langsung berjabatan tangan dan berkenalan.
“Iya
mbah.. suami saya harus ke lar kota sekarang, jadi biar ritual
pembesihan rumahnya saya yang gantikan untuk membantu mbah. Si mbok dan
anak-anak sudah saya bawa ke rumah opa-omanya,” kata Irma.
“Waduh..
sebenarnya bu Irma ndak usah repot ndak apa.. saya bisa selesaikan
sendiri. Tapi lebih baguslah kalau bu Irma mau membantu,” kata mbah
Bromo.
Mbah
Bromo lalu menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Irma, antara lain
memegang baskom berisi air bunga tujuh rupa dan selalu berada di samping
mbah Bromo saat ritual dilakukan di tiap ruangan, untuk memudahkan mbah
Bromo memercikan air ke ruangan karena baskom tidak boleh diletakkan di
lantai atau media apapun.
“Maaf
mbah, saya potong.. saya harus berangkat sekarang. Mama, papa jalan
ya,” kata Hendarto lalu pergi meninggalkan mbah Bromo dan Irma di rumah.
Irma
manggut-manggut mendengarkan penjelasan mbah Bromo. Meski pekerjaan itu
mudah dan bisa dilakukan pembantu , tetapi karena harus anggota
keluarga Irma bersedia melakukannya demi kesuksesan suaminya.
“Ruangan
tamu ini sudah saya bersihkan, sekarang kita ke ruang keluarga bu
Irma,” mbah Bromo berjalan menuju ruang keluarga, Irma membawa baskom
air bunga membuntutinya.
Mbah
Bromo meminta Irma duduk di sofa keluarga pada posisi duduk seperti
biasanya saat menonton televisi bersama keluarga. Irma mengikuti lalu
duduk di pojok kanan dengan kedua tangan tetap memegangi baskom.
Mulut
mbah Bromo komat-kamit membaca mantra dengan mata terpejam, lalu kedua
tangannya dimasukkan dalam baskom yang dibawa Irma, dan mulai
memercikkan air ke ruang itu berkeliling dari sudut ke sudut.
Setelah
selesai, ritual kemudian pindah ke kamar tidur utama, kamar tidur
Hendarto dan Irma di lantai dua. Mbah Bromo kembali meminta Irma tidur
di ranjang pada posisi seperti biasanya, dan Irma menuruti, berbaring
dengan tetap memegang baskom air bunga di atas perutnya.
“Oh..
maaf bu Irma.. saya lupa memberi tahu. Kalau bisa busananya juga harus
diganti dengan baju tidur yag biasa dipakai sehari-hari di kamar tidur
ini,” kata mbah Bromo.
Irma
sedikit terkejut mendengarnya sebab Hendarto tidak pernah bercerita
tentang itu. Tapi akhirnya ia menurut juga. Mbah Bromo keluar ruangan
membiarkan Irma bersalin pakaian.
“Sudah
mbah.. silahkan diteruskan,” Irma mengenakan daster tipis merah muda
yang biasa dipakai saat tidur. Ia merasa agak risih juga ketika mbah
Bromo masuk ke kamar, karena kebiasaan setiap tidur Irma tak pernah
menggunakan pakaian dalam, CD dan Bra.
Mbah Bromo menangkap kerisihan Irma, apalagi daster tipis membuat putting susu Irma membekas jelas.
“Ndak usah risih bu Irma.. ini demi ritual. Bu Irma memang cantik dan sexy, tapi mbah kan
sudah tua, sudah ndak bisa bangun.., jadi ndak mungkin berbuat
macam-macam,” kata mbah Bromo tersenyum. Irma kemudian berbaring seperti
semula dan mbah Bromo melanjutkan ritualnya.
Kata-kata
mbah Bromo membuat Irma lega, sebab sesuatu bisa saja keluar dari
rencana bila seorang wanita seperti Irma berada sekamar dengan pria lain
yang normal.
Tapi..
apa iya mbah Bromo sudah nggak bisa bangun?. Pertanyaan itu justru
berkeliaran di benak Irma. Ia memandangi sosok mbah Bromo yang masih
berdiri merapal mantra-mantra membelakanginya.
Usia
mbah Bromo memang sudah tua, rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih
sebagian. Tapi fisiknya masih kelihatan sangat bugar. Tingginya sekitar
180 cm, lebih tinggi dari Hendarto. Irma pun hanya sebatas dagunya
kalau berdiri berdampingan.
Tubuh
mbah Bromo juga nampak kekar dilapisi kulit hitam legam. Saat tangan
mbah Bromo membasuh di baskom, Irma bisa melihat jemari-jemarinya yang
kekar dengan buku-buku jari yang besar-besar.
Apa
iya mbah Bromo sudah impoten, seperti katanya barusan? Lagi-lagi
pertanyaan itu mengecamuk di bathin Irma. Diam-diam ia membayangkan
bagaimana perkasanya mbah Bromo saat masih muda.
“Bu Irma sudah selesai bu..,” mbah Bromo mencolek bahu Irma yang melamun.
“Oh.. eh.. iya mbah.. sudah ya?,” Irma malu sendiri karena ketahuan sedang melamun.
“Ibu kenapa? Kok sepertinya ada yang dipikirkan?,” tanya mbah Bromo menatap Irma.
“Eh..
nggak mbah. Ah anu.. saya tiba-tiba kepikiran tentang mimpi-mimpi serem
yang sering saya alami belakangan ini. Apa bisa mbah mengusirnya?,”
Irma sembarang celetuk mengarang cerita untuk menutupi malu. Tapi cerita
karangannya justru menjebaknya dalam situasi makin rumit akhirnya.
“Oh
itu. Bisa bu.. nanti setelah pembersihan rumah saya akan lihat apa
penyebabnya ya.. mungkin ada yang mengganggu ibu,” kata mbah Bromo.
Ritual
dilanjutkan ke kamar mandi di dalam kamar tidur utama. Di sini Irma
jadi serba salah, karena ia harus berada pada posisi seperti biasanya.
Tapi kegundahan Irma terobati setelah mbah Bromo mengatakan tak harus
telanjang, tetapi cukup dengan melilit handuk di tubuhnya.
Irma berdiri di bawah shower dengan handuk biru melilit tubuhnya
dan kedua tangan memegangi baskom air bunga. Mbah Bromo kemudian
mengaktifkan shower sehingga tubuh Irma kuyub tersiram bersama handuk
yang dipakainya.
Mbah Bromo mulai memejam mata dan merapal mantra-mantra, kemudian mulai memercik air ke sudut-sudut kamar mandi.
Belum
lagi usai prosesi di kamar mandi itu, tiba-tiba lilitan handuk di tubuh
Irma melonggar karena siraman shower. Irma panik dan berusaha menahan
agar handuk tidak melorot, tapi terlambat, ujung handuk kanterjuntai ke
bawah membuat hanya bagian kiri tubuh Irma yang tertutup.
Astaga,
bagaimana ini, pikir Irma tak karuan. Tubuhnya telanjang bulat di
bagian kanan, tepat di hadapan mbah Bromo. Bagaimana kalau mbah Bromo
tidak lagi terpejam? Pasti semua kebugilannya terlihat jelas.
Masih dalam kepanikan Irma, mbah Bromo tiba-tiba mengamit ujung handuk yang luruh, kemudian membantu melilitkan di tubuh Irma.
“Maaf
bu Irma.. saya bantu membenarkannya ya,” katanya, sementara Irma tak
bisa bersuara. Mbah Bromo kemudian melanjutkan prosesi ritualnya.
Irma
kembali didera beragam pertanyaan dan perasaan aneh tentang mbah Bromo.
Saat membenahi handuk di tubuh Irma, jemari mbah Bromo sempat menyusup
dan menyentuh kulit mulus di pangkal payudaranya. Ada desiran aneh
menjalari Irma saat kulit kasar mbah Bromo menggesek pangkal
payudaranya. Desiran yang selama ini mulai jarang dirasakan bersama
Hendarto, suaminya.
“Sekarang prosesi sudah selesai bu. Apa ibu jadi mau menyelesaikan masalah mimpi buruknya?,” suara mbah Bromo mengejutkan Irma.
“Bu
Irma bisa pakai daster lagi.. dan saya akan merowah ibu,” kata mbah
Bromo sambil keluar kamar mandi ke kamar tidur, sementara Irma kembali
mengenakan daster tipisnya.
Mbah
Bromo meminta Irma berbaring di ranjang, Irma menurut dengan hati
berdebar-debar tak karuan. Dengan posisi duduk di sisi ranjang, mbah
Bromo meletakkan telapak tangan kanannya di dahi Irma sambil merapal
mantra. Irma mengamati mbah Bromo yang terpejam berkomat-kamit. Wajah
mbah Bromo masih meninggalkan gurat-gurat ketampanan, semakin terkesan
jantan dengan tukang rahang yang menonjol.
“Ehm..
apa kira-kira penyebab mimpi-mimpi itu mbah,” Irma beranikan diri
bertanya. Mbah Bromo membuka mata dan menatap mata Irma membuat Irma
salah tingkah.
“Hmm..
maaf bu Irma. Sepertinya ada yang berusaha mengguna-gunai ibu, dan
sudah masuk sebagian merasuk ke aliran darah ibu. Mungkin saingan bisnis
pak Hendarto yang sudah kewalahan tak bisa menembus pak Hen kemudian
menyasar ibu,” jawab mbah Bromo.
Irma
jadi takut. Bukankah soal mimpi buruk itu hanya karangannya? Tapi soal
guna-guna, jangan-jangan memang benar sudah merasuk di tubuhnya.
“Apa berbahaya mbah?,” tanya Irma ketakutan.
“Kalau
tidak segera dibersihkan bisa bahaya bu. Kalau tidak kuat ibu bisa
hilang akal sehat, bisa gila. Tapi untung cepat terdeteksi,” kata mbah
Bromo.
Mbah
Bromo kemudian menjelaskan bahwa untuk mengusir guna-guna dan
membersihkan yang sudah terlanjur merasuk ke dalam aliran darah, maka
Irma harus menjalani ritual pembersihan seperti ritual pembersihan
rumah. Caranya dengan dimandikan air kembang tujuh rupa oleh mbah Bromo.
Mbah Bromo meminta Irma tetap berbaring, sementara ia mengambil baskom air kembang sisa prosesi tadi di kamar mandi.
Setelah
kembali duduk di sisi ranjang, mbah Bromo mulai merapal mantra dan
memercikkan air kembang ke sekujur tubuh Irma, mulai kepala sampai kaki.
“Maaf
bu, mungkin sedikit risih.. tapi jangan dirasakan ya, karena perlawanan
bisa menggagalkan ritualnya,” kata mbah Bromo. Belum sempat Irma
menjawab, telapak tangan mbah Bromo mulai menelusuri tubuh Irma seolah
mengolesi dengan air kembang.
Irma
tak punya pilihan. Ketakutannya mengalahkan akal sehatnya, dan ia
menuruti apa saja perkataan mbah Bromo. Ia merasakan tangan mbah Bromo
mengusap-usap lehernya lalu turun ke dada. Usapan berlanjut ke dua
payudara Irma membuat Irma merasakan desiran aneh luar biasa.
Daster
tipis tanpa bra membuat telapak tangan mbah Bromo sangat terasa
menyentuh dan mengusapi putting susu Irma. Irma memejamkan mata dan
berhayal yang sedang mengelus tubuhnya adalah Hendarto suaminya. Maksud
Irma adalah untuk menghilangkan risih yang sedang melanda dirinya.
Lagipula, bukankah mbah Bromo impoten? Begitu pikirnya.
Tapi
niat Irma justru menyeretnya ke posisi yang lebih sulit. Dengan
membayangkan suaminya yang sedang mengusap tubuhnya, libido Irma malah
terpacu dan gairah seksnya meninggi.
Irma
merasakan tangan mbah Bromo mulai menjalar ke kakinya. Sentuhan nikmat
mulai dirasakan Irma di bagian pahanya, tanpa disadari tangan mbah Bromo
terus menelusup bagian bawah daster, dan mulai mengusapi kulit paha
Irma.
“Aahh..
mas Hen..,” Irma mendesis mencoba membendung gairahnya, pikirannya
semakin tertuju pada Hendarto yang sedang menjelajahi tubuhnya.
Mbah
Bromo menangkap libido Irma yang mulai meningkat, ia kemudian
memberanikan diri mengusapi pangkal paha Irma dan sesekali tangannya
menyetuh bibir vagina Irma yang tidak terbungkus CD. Irma menggelinjang
dan mulai melebarkan kakinya memberikan ruang lebih luas bagi sentuhan
mbah Bromo.
Daster bagian bawah sudah
tergulung sampai ke perut Irma, paha mulus dan rambut tipis di vagina
Irma terpampang jelas di hadapan mbah Bromo. Mbah Bromo ingin sekali
mengusapi vagina Irma, bagaimana pun ia lelaki normal dan masih bisa
ereksi di usia tuanya. Pengakuan impoten dilakukan mbah Bromo sebenarnya
hanya agar kliennya merasa nyaman saat ritual dilakukan. Tapi mbah
Bromo tak berani melangkah lebih jauh karena takut dilaporkan ke
Hendarto, sebab selama dua tahun ini Hendarto sudah menjamin
perekonomian keluarganya bahkan sampai ia mampu mengkuliahkan anaknya.
“Ehmm.. maaf bu Irma..,” suara mbah Bromo menyadarkan Irma.
“Oh..
eh.. iya mbah. Sudah selesaikah?,” Irma terkejut membuka mata,
gelagapan bercampur malu menyadari dirinya bugil di bagian bawah, dan
segera membenahi letak dasternya. Nafas Irma sedikit berat desiran kenikmatan masih tersisa padanya.
“Belum bu, guna-gunanya cukup kuat dan sudah merasuk jauh ke aliran darah bu Irma,” mbah Bromo kini yang mulai mengarang cerita.
“Daster
ini menyulitkan saya melakukan ritual.. karena sebetulnya harus kulit
tubuh bu Irma yang langsung dibaluri air kembang,” katanya tanpa
menunggu reaksi Irma.
Rasa
takut gila karena guna-guna ditambah desir kenikmatan yang terlanjur ia
rasa akibat sentuhan jemari mbah Bromo membuat Irma sama sekali berada
di bawah konrol mbah Bromo. Ia menuruti perkataan mbah Bromo untuk
menanggalkan dasternya, dan untuk tidak bercerita pada Hendarto suaminya
tentang ritual mereka.
“Silahkan
mbah.. dilanjutkan ritualnya. Yang penting saya sembuh mbah,” kata Irma
yang sudah kembali berbaring dalam keadaan telanjang.
Mbah
Bromo terbelalak tak percaya, betapa tubuh mulus istri Hendarto
terpampang telanjang di hadapannya menunggu disentuh dan dijelajahi
olehnya.
Dengan
sikap serius seolah ritual sesungguhnya, mbah Bromo kembali komat-kamit
dan mulai menyentuh Irma. Air kembang dipercikkan lalu tangan mbah
Bromo menelusuri payudara Irma, sebentar kemudian ke perut, tetapi
kemudian kembali lagi ke payudara.
Irma
memejam dan menggelinjang merasakan sentuhan langsung telapak tangan
kasar mbah Bromo di kulit mulusnya. Tangan kiri mbah Bromo mulai
meremasi payudara Irma bergantian, sebelah kanan dan kiri, sementara
tangan kanannya menelusur ke bawah mengusapi paha dan selangkangan Irma.
Nafas
Irma semakin berat saat merasakan sentuhan mbah Bromo mulai menjelajahi
di bagian vitalnya. Irma ingin melawan dan menolak, tetapi rasa takut
akan guna-guna dan kenikmatan yang sedang melanda mengalahkan perasaan
risihnya. Ia memutuskan untuk kembali membayangkan bahwa suaminya yang
sedang menjelajahi tubuhnya.
Mbah
Bromo mengangkangkan kedua kaki Irma membuat vagina Irma semakin jelas
terlihat. Perlahan ia memberanikan diri membelai lebih intens permukaan
vagina Irma, ia merasakan cairan vagina Irma mulai merembes keluar
membuat permukaannya semakin licin berlendir.
“Ahhhsss..,”
Irma mendesis tak kuasa menahan kenikmatan sentuhan-sentuhan di
tubuhnya. Ia merasakan sesuatu menguak bibir vaginanya dan saat yang
sama putting susunya terasa dipilin-pilin, diremas-remas.
Di
saat libidonya semakin tak terbendung, Irma merasakan sesuatu yang
hangat menyapu-nyapu bibir vaginanya. Benda lunak bertekstur kasar itu
mulai menyapu vaginanya secara rutin berirama.
“Ouhh..
ahhss. Mbah, kenapa digituin?,” Irma terperanjat saat menyadari kini
kepala mbah Bromo seolah tenggelam diselangkangannya. Rupanya benda
hangat yang nikmat menyapu vaginanya adalah lidah mbah Bromo yang
menjilatinya.
“Eh..
oh.. maaf bu Irma, ini harus saya lakukan untuk menyedot guna-gunanya.
Ini sudah hampir selesai. Tapi kalau ibu keberatan.. saya minta maaf bu
Irma,” mbah Bromo nampak khawatir Irma marah dan melaporkannya pada
Hendarto.
Tapi
ternyata Irma tidak marah. Ia malah kembali memejamkan mata dan
melebarkan dua kakinya memberi isyarat pada mbah Bromo untuk melanjutkan
jilatan-jilatannya.
Benak
Irma berhenti membayangkan Hendarto suaminya, sebab selama menikah
hingga punya dua anak, sekali pun tak pernah Hendarto menjilati vagina
Irma. Padahal dari film-fim porno yang mereka nikmati bersama selama
ini, Irma ingin sekali merasakan bagaimana jika vaginanya disentuh
dengan lidah, dijilati dan dihisap.
“Ahhk..
mbah..,” Irma mulai terbawa gairahnya. Mbah Bromo, lelaki tua yang baru
dikenalnya ternyata tidak jijik menjilati vitalnya, tidak seperti
suaminya yang merasa jijik kalau harus menjilati vagina Irma.
Tanpa
disadari tangan Irma mulai meraih rambut mbah Bromo di selangkangannya
dan berusaha menekan agar jilatan di vaginanya lebih terasa.
Kumis
dan jenggot mbah Bromo yang kasar menambah rasa geli di vagina Irma.
Lidah mbah Bromo semakin leluasa menjelajahi gundukan vagina Irma yang
sudah sangat basah berlendir. Rintihan Irma semakin keras dan sering
terdengar.
Mbah
Bromo turut terpacu libidonya, sambil terus menjilat dan menghisap
bibir vagina Irma, tangganya mulai memelorotkan celana kolor hitamnya.
Penisnya mengacung tegang kemudian dikocok-kocok dengan tangan kirinya,
sambil membayangkan ia sedang menyetubuhi Irma.
Irma
mulai merasakan sensasi disekitar vaginanya, seperti ada hawa panas
menjalar di pangkal pahanya. Hawa panas itu terus mendesak dan berkumpul
dipusat klitorisnya, semakin lama semakin mendesak setiap kali jilatan
mbah Bromo menerpa. Kedutan-kedutan mulai ia rasakan di vaginanya.
Tangannya semakin meremas kencang rambut mbah Bromo. Sementara
pinggulnya tergetar hebat seperti hendak menguyak kepala mbah Bromo di
jepitan pahanya.
“Ouhh..
mbaahhhh… akkkssshhh…,” Irma setengah menjarit ketika kumpulan hawa
panas itu meledak mencapai orgasmenya. Di saat bersamaan kocokan tangan
mbah Bromo membuat penisnya terasa hendak meledak menyeburkan sperma
kenikmatan. Tangannya segera menyembar daster Irma yang luruh di
ranjang, lalu menghadang semburan spermanya menggunakan daster Irma.
Irma lunglai tak bertenaga, masih terpejam menikmati sisa-sisa orgasmenya. Mbah Bromo duduk di sisi ranjang kembali menyaksikan wajah cantik Irma setelah orgasmenya.
“Sudah
tuntas bu Irma.. sudah keluar semuanya,” kata mbah Bromo. Irma tak
mampu bicara, ia merasa lemas bercampur malu menyadari lelaki lain sudah
melihat tubuhnya. Ia lalu duduk dan mengamit selimut untuk menutupi
tubuh bugilnya, bersandar di kepala ranjang.
“Bagaimana rasanya bu Irma?,” tanya mbah Bromo.
“Hmm.. nikmat mbah..,” jawab Irma tanpa sadar.
“Maksud bu Irma?,” mbah Bromo seolah memancing.
“Oh.. eh.. anu.. maksud saya. Maksud saya sudah agak ringan sekarang, mungkin karena guna-gunanya sudah keluar,” kata Irma malu.
Tiba-tiba
pikiran Irma kembali tertuju pada fisik mbah Bromo. Apa benar si mbah
tidak ereksi penisnya saat memperlakukannya seperti tadi.
“Mbah..
maaf ya kalau saya tanya. Apa tadi mbah tidak merasakan gairah seks?
Waktu menghisap guna-guna dari tubuh saya tadi?. Apa anu mbah tidak
tegang?,” ia beranikan bertanya untuk menjewab penasarannya.
“Kan
mbah sudah bilang.. mbah impoten bu Irma. Ibu mau lihat?,” mbah Bromo
langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Irma, ia langsung melorotkan
celana hitamnya tanpa CD.
Penis mbah Bromo menggelantung keluar, nampak lagi tanpa ketegangan sebab klimaksnya sudah sampai dengan onani tadi.
Irma
terbelalak memperhatikan bentuk penis mbah Bromo. Dalam kondisi tidur
penisnya itu tetap besart, lebih besar dari milik Hendarto. Pikirannya
kembali tak karuan, bagaimana besarnya kalau penis hitam mbah Bromo itu
tegang?.
“Ndak sebesar punya pak Hen ya bu?,” tanya mbah Bromo.
“Eh.. hmm.. hampir sama kok,” jawab Irma. Ia malu mengakui penis Hendarto tergolong kecil, apalagi dibanding penis mbah Bromo.
Tapi
mbah Bromo sudah tahu kalau penis Hendarto ukuran mini. Sebab selama
ritual pembersihan rumah sebelumnya, mbah Bromo sudah melihat penis
Hendarto ketika pembersihan tanpa busana di kamar mandi. Hendarto
bertubuh tambun dengan perut membuncit. Penisnya pun tidak bertahan lama
kalau bersetubuh dengan Irma.
“Ya
sudahlah bu Irma, mbah pamit pulang ya. Ndak enak kalau pak Hen datang,
nanti jadi salah paham melihat kita berdua di kamar ini dalam kondisi
begini,” mbah Bromo merapikan celananya dan bersiap keluar kamar. Irma
ikut bangkit dengan melilit selimut menutupi tubuhnya.
“Sebentar
mbah.. ini ada sesuatu dari saya untuk istri dan anak mbah di rumah,”
Irma mengeluarkan beberapa lembar uang dari lemari dan menyisipkannya di
kantung baju hitam mbah Bromo. Mbah Bromo tak menolak pemberian itu,
anggap saja rejeki tambahan.
“Hmmm mbah.. satu pertanyaan lagi boleh ya? Apa mbah sudah tidak pernah bersetubuh sama istri?,” kata Irma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar